
Sabtu, April 25, 2009
MU Mengamuk di Old Trafford

Benitez: Tiga Poin di Laga yang Sulit

Bayern & Hamburg Tunduk

Chelsea Terus Buntuti MU & Liverpool

Kuyt Pahlawan Liverpool
Dirk Kuyt menjadi aktor utama kemenangan Liverpool saat menghantam Hull City 3-1. Dua gol penyerang asal Belanda itu memastikan tiga akan di tengah sengitnya perlawanan lawan. Liverpool membuka skor lewat gol Xabi Alonso di menit 44 sebelum Kuyt menambahinya jadi 2-0 di menit 63. Geovanni memperkecil ketinggalan Hull jadi 2-1 sebelum Kuyt menutup skor jadi 3-1 lewat golnya di menti 89.
Jalannya pertandingan
Liverpool langsung menggebrak di awal laga. Di menit keenam, dari tendangan Yossi Benayoun yang diblok bek Hull, bola jatuh di kaki Fernando Torres. Namun sepakan Torres tak menemui sasaran karena melambung tinggi. Dua menit kemudian, aksi Benayoun kembali mengancam. Menggocek bola di sisi kiri, gelandang Israel itu mengakhirinya dengan tendangan lengkung ke arah gawang tetapi arahnya masih terlalu tinggi. Hull coba mencuri peluang di menit 13. Menguasai bola di luar kotak penalti, tendangan menyusur tanah dari Dean Marney melebar di sisi kanan kiper Pepe Reina. Menit 16, giliran Geovanni mengancam Liverpool. Namun tendangan pemain berkebangsaan Brasil itu juga tidak terarah dan melebar. Tim tamu memecah kebuntuan semenit sebelum babak pertama berakhir. Tendangan bebas Alonso masih bisa ditahan pagar betis pemain Hull, namun bola rebound kembali dikuasai Alonso dan dengan sepakan kerasnya, gelandang Spanyol itu mencetak gol pembuka The Reds. Liverpool belum bisa terlalu bersuka hati karena semenit kemudian gawang mereka kembali terancam. Dari sebuah tendangan bebas, tercipta kemelut di mulut gawang Reina. Bola liar disundul Geovanni tetapi arahnya masih tinggi.
Memasukki babak kedua, upaya Torres di menit 54 kembali gagal menemui hasil. Bola yang diumpankan Alvaro Arbeloa disambut tendangan setengah voli dari Torres tetapi kembali arahnya melambung. Hull dipaksa harus bermain dengan 10 orang setelah Caleb Folan dikartumerah wasit di menit 58. Folan dituding menendang bek Liverpool, Martin Skrtel, di kotak penalti The Reds. Keunggulan jumlah pemain sukses dimaksimalkan Liverpool lima menit kemudian. Sundulan jarak dekat Dirk Kuyt membelokkan tendangan Skrtel berhasil menambah keunggulan tim tamu jadi 2-0. Meski kalah jumlah, Hull berhasil menggigit balik melalui gol Geovanni di menit 72. Gol berawal dari aksi Daniel Cousin di sayap kiri yang melepaskan umpan silang yang segera dicocor oleh Geovanni yang tak terjaga. Liverpool masih unggul 2-1. Di menit 78, peluang terbaik Torres gagal menghasilkan gol. Mendapat bola kiriman Kuyt dari sayap kanan, bola tandukan Torres membentur mistar gawang Boaz Myhill. Menyadari masih ada sedikit peluang untuk menghindarkan diri dari kekalahan, Hull mencoba menyerang. Tetapi usaha mereka masih belum menemui hasil meski pertahanan Liverpool beberapa kali terlihat tidak tenang menghadapinya. Di saat itulah, datang gol kedua Kuyt yang memastikan kemenangan 'Si Merah' di menit 89. Gol bermula dari tendangan Arbeloa yang bisa ditepis Myhill, dan bola muntah dengan mudah ditendang masuk gawang oleh Kuyt yang berdiri bebas.
Skor 3-1 pun akhirnya menjadi kesimpulan akhir saat wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan.
Susunan pemain
Hull: Myhill; Ricketts, Zayatte, Turner, Kilbane; Fagan, Boateng (Manucho 79), Marney, Geovanni, Barmby; Folan
Liverpool: Reina; Arbeloa, Carragher, Skrtel, Insua; Kuyt (Dossena 89), Alonso, Mascherano (El Zhar 85), Benayoun (Agger 87), Lucas; Torres.
Gol Kalou Menangkan Chelsea

Liverpool Sementara Berkuasa

Flamengo Siap Tampung Adriano

Kenapa Inggris Dominan di Liga Champions

Totalitas Total Football

Visi Ronny dan Khayal PSSI

Man City: Menggapai Prestasi, Sensasi atau Mimpi?

Menyemai Ragu Dibenak

Saga Tentang Kaka
Eduardo Galleano, sastrawan Uruguay yang menulis 'El futbol a Sol y Sombra', pernah melancarkan kritik tajam pada dua pihak sekaligus: rezim pemerintah di Amerika Latin, baik yang berideologi "kanan" atau "kiri" yang mengeksploitasi sepakbola untuk kepentingan politik.
Penulis trilogi novel 'Memoria del Fuego' ini menyerang intelektual kiri yang merusak sepakbola semata untuk mengkampanyekan keyakinan ideologis mereka. Tapi ia jauh lebih keras lagi menyerang kapitalisme global yang menjadikan sepakbola begitu komersil.
Kapitalisme memang telah membuat sepakbola menjadi berkembang dengan cara yang tak pernah bisa dilakukan pada dekade-dekade sebelumnya. Efek domino dari industri sepakbola telah dirasakan oleh banyak orang yang tak bersentuhan langsung dengan lapangan hijau. Tak terhitung, misalnya, kampung-kampung di pedalaman Afrika yang mendapat sokongan dana yang digelontorkan warganya yang sukses menjadi pesepakbola di Eropa. Kritik terhadap penetrasi kekuatan uang memang tak pernah berhenti dan akan selalu ada. Tapi, sepanjang sejarah industri sepakbola, barangkali baru gerak Manchester City memburu Kaka yang berhasil membuat semua orang yang terkait langsung atau tidak dengan sepakbola seperti kebakaran jenggot, syok dan pelan tapi pasti menyampaikan kritik yang nyaris sama: polah pemilik City sukar diterima akal sehat.
Tawaran 100 juta poundsterling kepada Milan dan rumor 500 ribu pounds per pekan untuk Kaka memang tak pernah dibayangkan oleh siapapun, tidak juga oleh seorang Roman Abramovich. Inilah tanda kapitalisme benar-benar sudah tak terbendung?
Belum tentu juga. Kapitalisme mungkin sistem yang rakus dalam urusan mengeruk laba. Tapi serakus-rakusnya kapitalisme, ia terikat dengan azas dan prinsip-prinsipnya sendiri: mempertimbangkan logika pasar, menghitung keseimbangan pengeluaran dan pemasukan, memetakan tata keuangan global yang sedang remuk oleh krisis, serta mengukur nalar-ekonomi dalam industri sepakbola.
Tawaran City jelas-jelas sukar diterima dilihat nyaris dalam semua aspek sekalipun. Secara bisnis, sukar menghitung bagaimana para syeikh yang jadi juragan City akan menutup pengeluaran. Abramovich pun pasti tak bisa menjawab dengan pasti kapan duit yang ia keluarkan untuk Chelsea mencapai break event point, terlebih setelah dunia dihajar krisis finansial yang akut.
Di tengah himpitan krisis finansial yang membikin angka kemiskinan dan pengangguran merangkak naik di nyaris semua penjuru bumi (plus isu Palestina yang mengharu biru), tawaran gaji untuk Kaka seperti pelecehan atas akal sehat dan tanpa mengukur kepekaan pada isu-isu kemanusiaan.
Saga transfer ini tidak lagi menjadi isu teknis sepakbola atau kalkulasi dagang, tapi sudah menjadi sebuah isu moral, baik itu moral dalam spirit sepakbola maupun moral dalam pengertiannya dirinya sendiri. Pertanyaan moral ini bisa diajukan pada ketiga pihak yang terlibat: Kaka, Milan juga pemilik City.
Kepada Kaka, publik sungguh ingin tahu bagaimana ia mengejawantahkan kalimat "I Belong to Jesus" yang terpacak di kaos yang ia gunakan saat selebrasi penyerahan trofi Liga Champions yang digondol Milan dua musim lalu. Kaka, yang mengaku buku favoritnya adalah alkitab dan nyanyian kesayangannya adalah koor gereja, serta lama menjadi ikon pemain yang religius dan sederhana, diuji oleh godaan uang City.
Mungkin seperti berlebihan menghubungkan isu transfer ini dengan soal moralitas, apalagi kepercayaan personal. Tapi, melihat besaran uang dan konteks dunia yang sedang sekarat, sudut pandang ini layak untuk diajukan. Tak urung, harian The Telegraph sampai menurukan laporan berjudul 'Kaka: a virtuoso with faith in Milan and Jesus'. Kolom Bryan Robson di BBC juga menyinggung hal serupa. Robbo bahkan tegas-tegas menulis: 'No-one, NO-ONE, deserves to earn £100m.'
Milan sendiri layak dimintai pertanggungjawab jika menjual Kaka. Ini bukan hanya menjadi hak suporter Milan, tapi juga menjadi hak siapa saja yang menyukai sepakbola sebagai sebuah olahraga sekaligus seni bermain yang --menyitir Graham Taylor-- mutlak membutuhkan passion dan spirit yang tak terkalkulasi oleh gelontoran uang.
Para pelaku dalam industri sepakbola juga pantas untuk bertanya pada Milan karena jika saga transfer ini sampai berhasil, tata-niaga dalam pasar pemain sepakbola bisa berantakan, jauh lebih remuk-redam ketimbang yang dilakukan Abramovich. Sistem pembinaan pemain muda juga terancam dengan langkah-langkah super-instan macam yang dilakukan City pada Kaka ini.
Tapi, di atas semua itu, syeikh-syeikh dari Abu Dhabi yang jadi juragan City menjadi pihak yang pantas untuk "ditembak" melebihi Kaka atau Milan sendiri. Sebab, jika mereka tidak "segila" ini, saga transfer ini tak mungkin bisa muncul.
Kekayaan ADUG, konsorsium para syeikh Abu Dhabi yang kini menjadi juragan City, memang tak alang kepalang. Tapi, untuk apa sebenarnya? Mungkin mereka mencari reputasi atau menggunakan isu sepakbola untuk meningkatkan posisi tawar pada area yang lain -- katakanlah ini hanya satu tahap dari sekian tahapan berikutnya yang sedang diincar.
Atau, jangan-jangan, mereka memperlakukan saga transfer ini --juga take-over yang mereka lakukan atas kepemilikan City-- tak lebih sebagai kesenangan orang-orang yang sudah tak tahu lagi dengan cara apa mereka menghabiskan uang. Mungkin para syeikh itu justru sedang menikmati prinsip dasar dari sepakbola dengan cara yang ekstrim dan tak pernah kita duga: kesenangan, klangenan, main-main.
Ya, permainan. Dalam ujudnya yang absurd, tentu saja.
Temaram di Morumbi

Tergantung Padamu, Gerrard

Menuai Sukses, Bukan Sahabat

Aku Hanya Antonio Cassano

Mengenai Posisi Kapten

Wasit: Berkuasa dan Dicerca

Ketika Uang Berbicara

'Appy Arry' Sang Tukang Kelontong

Resesi dan Nasib Liga Inggris

Enigma Monsieur Wenger

Matinya Manajer Klub Sepakbola

Langganan:
Postingan (Atom)