Sabtu, April 25, 2009

MU Mengamuk di Old Trafford

Rooney & Berbatov (BBC)Manchester United lolos dari lubang jarum. Tertinggal O-2 di babak pertama, mereka tancap gas dan mengamuk di babak kedua. Alhasil mereka pun menang dengan skor 5-2 atas Tottenham Hotspur. Dalam pertandingan yang dihelat di Stadion Old Trafford, Minggu (26/4/2009) dinihari WIB, The Red Devils bermain relatif buruk di babak pertama, meski sempat menciptakan beberapa peluang. Alhasil gawang mereka pun bobol dua kali lewat sepakan Darren Bent dan Luka Modric. Mereka memiliki gunung untuk didaki di babak kedua. Namun, kedudukan pun berubah di second half. Dua gol dari Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo, serta satu lagi dari Dimitar Berbatov, membuat mereka mengakhiri laga dengan kemenangan 5-2. Hasil ini membuat mereka kokoh du puncak klasemen sementara Premier League. 'Setan Merah' mengoleksi poin 77, unggul tiga angka dari Liverpool yang berada di posisi dua.

Benitez: Tiga Poin di Laga yang Sulit

Benitez (Reuters)Liverpool berhasil meraih kemenangan 3-1 atas Hull City sekaligus menjaga peluangnya merebut titel Liga Inggris musim ini. Diakui Rafael Benitez tiga poin The Reds itu diraih dengan jalan yang tidak mulus. Dalam laga yang dilangsungkan di KC Stadium, Sabtu (25/4/2009) malam WIB, dua gol Dirk Kuyt dan Xabi Alonso memang hanya mampus dibalas Hull lewat kaki Geovanni. Terlebih The Tigers harus bermain dengan sepuluh orang sejak menit ke- 58 setelah Caleb Folan diusir wasit keluar lapangan. Namun kenyataan malah sebaliknya, sejak unggul 2-0 serta mempunyai keunggulan jumlah pemain, Fernando Torres dkk malah tertekan oleh tuan rumah dan mengakibatkan Hull mampu mencetak gol balasan. Untungnya gol Kuyt di penghujung laga mampu memastikan Liverpool untuk sementara menggeser Manchester United dari puncak klasemen, dimana The Kop unggul dalam selisih gol. Fakta tersebut lah yang membuat Benitez menilai timnya mengalami kesulitan sepanjang laga terutama di babak kedua karena sang lawan menunjukkan mental pantang menyerahnya. Tapi akhirnya gaffer asal Spanyol mengaku senang karena dengan ketenangan dan kengototan yang ditunjukkan anak buahnya, mereka dapat pulang ke Anfield dengan kepala tegak. "Kami sepantasnya menang jadi saya senang. Kami mendapat tiga poin dari laga yang sulit. Menjadi sulit karena mereka bekerja keras dan selalu menekan," urai Benitez di situs resmi klub. "Selalu berbahaya (menghadapi tim yang menghindari degradasi) karena kamu tahu mereka akan bertarung sampai akhir. Kita telah membicarakan sebelumnya. Kami harus tenang dan selalu mengejar bola," lanjutnya. Dilanjutkan Rafa, faktor lapangan menjadi sebab musabab permainan Liverpool tak banyak berkembang di babak pertama dan sempat mengalami kegugupan."Kami sedikit gugup karena lapangan sangat buruk. Rumputnya panjang dan sangat sulit untuk mengoper bola. Itu berarti bahwa kamu dapat melakukan kesalahan ketika tim lain menekan." "Tapi kamu harus menerima situasi ini karena ini adalah bagian dari pertandingan, dan kami lebih baik di babak kedua. Kami sedikit gugup tapi kami menunjukkan karakter kami," pungkasnya.

Bayern & Hamburg Tunduk

Schalke 04 (AFP/Oliver Lang)Bayern Munich gagal merebut tahta sementara Bundesliga setelah menyerah di tangan Schalke 04. Kekalahan juga diderita oleh Hamburg SV yang dihantam Borussia Dortmund. Bertarung di kandang sendiri, Allianz Arena, Sabtu (25/4/2009), Bayern bisa menyamai poin Vfl Wolfsburg bila menang atas Schalke. FC Hollywood bahkan bisa merebut tahta sementara bila unggul dengan banyak gol. Namun bukannya kemenangan yang berhasil dihadirkan, tetapi kekalahan pahit dengan skor 0-1 harus dikecap oleh tim racikan pelatih Juergen Klinsmann tersebut. Gol kemenangan Schalke di laga itu dicetak oleh Halil Altintop di menit 21. Umpan korner Christian Pander sukses ditanduk Halil untuk menjebol gawang Bayern yang dikiperi Hans Jorg Butt. Bayern sedikit beruntung karena peringkat tiga yang mereka duduki gagal direbut oleh Hamburg. Pasalnya, pada saat bersamaan tim peringkat empat itu juga kalah oleh Dortmund. Alhasil, poin kedua tim tetap 54 dengan Bayern unggul selisih gol. Dortmund Tekuk Hamburg Melawat ke Signal Iduna Park, Hamburg takluk 0-2. Gol dari Sebastian Kehl dan penalti Alexander Frei mengirim pulang pasukan Martin Jol dengan kekalahan. Gol pertama Dortmund lahir di menit 33. Dari umpan Nuri Sahin, bola ditendang Kehl dengan kaki kirinya dan sukses merobek jala gawang Frank Rost. 1-0 Dortmund memimpin. Di injury time, penalti Frei memastikan kemenangan Die Schwarzgelben. Penalti dihadiahkan ke tuan rumah setelah Kevin Prince Boateng dilanggar Michael Gravgaard di kotak terlarang. Kekalahan ini membuat koleksi poin Hamburg tetap 54 dari 29 pertandingan. Kans Hamburg dan Bayern untuk mengejar Wolfsburg pun bisa kian memudar bila besok (26/4), Wolfsburg bisa menang atas Energie Cottbus. Susunan pemain Bayern: Butt; Lell, Demichelis, Lucio, Lahm; Ottl (Podolski 46), Van Bommel, Ribery, Ze Roberto; Ernesto Sosa, Toni Schalke: Neuer; Rafinha, Krstajic, Westermann, Pander; Farfan, Jones, Kobiashvili, Sanchez; Kuranyi, Altintop Dortmund: Weidenfeller; Owomoyela, Santana, Subotic, Dede; Blaszczykowski (Tinga 66), Kehl, Hajnal (K.P Boateng 69), Sahin; Valdez (Zidan 78), Frei Hamburg: Rost; J. Boateng (Demel 81), Mathijsen, Gravgaard, Aogo; Jarolim, Tavares, Benjamin (Olic 46), Trochowski; Guerrero, Pitroipa (Streit 68).

Chelsea Terus Buntuti MU & Liverpool

Chelsea (Reuters)Chelsea tetap menjaga asanya untuk merebut gelar juara Liga Inggris, setelah pada Sabtu (25/4/2009) malam WIB The Blues menang tipis 1-0 dalam derby London kontra West Ham United. Dalam laga yang dilangsungkan di Upton Park, gol Salomon Kalou di babak kedua memastikan raihan poin penting bagi 'Si Biru' untuk tetap menghidupkan peluang merebut juara Liga Inggris. Dengan empat laga tersisa, kesempatan Chelsea tentunya semakin kecil karena saat ini mereka tertinggal tiga poin dari Liverpool dan Manchester United yang sementara beriringan berdiri di puncak klasemen. Apalagi MU masih mempunyai dua laga tersimpan di tangan mereka. Menggengam tiga angka dalam laga ini, pasukan Guus Hiddink tetap berdiri kokoh di urutan ketiga klasemen sementara dengan capaian 71 poin dari 34 kali bertanding. Sementara dengan kekalahan ini, pasukan Gianfranco Zola harus rela turun satu tangga ke urutan kedelapan dengan 45 poin. Jalannya pertandingan Babak pertama berjalan 17 menit, Florent Malouda mengancam gawang West Ham. Akselerasi winger Prancis itu ke dalam kotak penalti Chelsea diakhiri dengan sepakan keras yang tak menemui sasaran. Tiga menit berselang giliran tuan rumah punya peluang. Kieron Dyer yang berdiri bebas di daerah pertahanan Chelsea tak mampu memaksimalkan dengan baik umpan tarik Diego Tristan. Tendangan Dyer masih terlalu lemah dan tepat mengarah ke pelukan Petr Cech. Nicolas Anelka membuang kesempatan untuk membuat gol pertama di laga ini. Sepakan striker 31 tahun di menit ke-37 itu di sisi kiri pertahanan West Ham masih melebar di samping gawang Robert Green. Pada menit ke-43 peluang emas didapat West Ham melalui Tristan. Meneruskan sepak pojok, bola hasil sundulan pria Spanyol itu masih dapat dicegah masul oleh John Obi Mikel yang berdiri tepat di garis gawang. Hingga turun minum kedudukan tetap imbang tanpa gol. Babak kedua berjalan sepuluh menit gol Kalou memecah kebuntuan pada pertandingan itu. Akselerasi Frank Lampard di sisi kanan pertahanan tuan rumah diakhiri dengan crossing ke dalam kotak penalti. Kalou yang berdiri bebas tanpa ragu menceploskan kulit bundar ke jala lawan yang sudah kosong ditinggal Green. Semenit kemudian Cech membuat penyelematan gemilang atas tendangan keras Dyer dari luar kotak penalti. Di menit ke-59, tendangan chip Lucas Neill hanya mampu menempatkan bola di atas jala Cech. Sepakan keras Ashley Cole di menit ke-66 meneruskan assist Kalou masih melayang di atas mistar gawang tuan rumah. Noble memiliki kesempatan untuk menyamakan kedudukan melalui titik penalti menyusul dilanggarnya Ilunga oleh Kalou. Sayang penaltinya di menit ke-70 mampu ditepis dengan baik oleh Cech. Free kick keras Lampard di menit ke-83 harus dijinakkan susah payah oleh Green. Hingga berakhirnya laga, papan skor tetap menunjukkan angka 1-0 untuk keunggulan tim tamu. Susunan Pemain : West Ham : Green, Ilunga, Upson, Tomkins, Neill, Boa Marte (Savio 74'), Stanislas, Noble, Dyer (Sears 61'), Tristan, Di Michele (Kovac 61'). Chelsea : Cech, Bosingwa (Cole 58'), Ivanovic, Terry, Mancienne, Belleti, Mikel, Lampard, Kalou (Essien 73'), Malouda, Anelka.

Kuyt Pahlawan Liverpool

Dirk Kuyt menjadi aktor utama kemenangan Liverpool saat menghantam Hull City 3-1. Dua gol penyerang asal Belanda itu memastikan tiga akan di tengah sengitnya perlawanan lawan. Liverpool membuka skor lewat gol Xabi Alonso di menit 44 sebelum Kuyt menambahinya jadi 2-0 di menit 63. Geovanni memperkecil ketinggalan Hull jadi 2-1 sebelum Kuyt menutup skor jadi 3-1 lewat golnya di menti 89. Jalannya pertandingan Liverpool langsung menggebrak di awal laga. Di menit keenam, dari tendangan Yossi Benayoun yang diblok bek Hull, bola jatuh di kaki Fernando Torres. Namun sepakan Torres tak menemui sasaran karena melambung tinggi. Dua menit kemudian, aksi Benayoun kembali mengancam. Menggocek bola di sisi kiri, gelandang Israel itu mengakhirinya dengan tendangan lengkung ke arah gawang tetapi arahnya masih terlalu tinggi. Hull coba mencuri peluang di menit 13. Menguasai bola di luar kotak penalti, tendangan menyusur tanah dari Dean Marney melebar di sisi kanan kiper Pepe Reina. Menit 16, giliran Geovanni mengancam Liverpool. Namun tendangan pemain berkebangsaan Brasil itu juga tidak terarah dan melebar. Tim tamu memecah kebuntuan semenit sebelum babak pertama berakhir. Tendangan bebas Alonso masih bisa ditahan pagar betis pemain Hull, namun bola rebound kembali dikuasai Alonso dan dengan sepakan kerasnya, gelandang Spanyol itu mencetak gol pembuka The Reds. Liverpool belum bisa terlalu bersuka hati karena semenit kemudian gawang mereka kembali terancam. Dari sebuah tendangan bebas, tercipta kemelut di mulut gawang Reina. Bola liar disundul Geovanni tetapi arahnya masih tinggi. Memasukki babak kedua, upaya Torres di menit 54 kembali gagal menemui hasil. Bola yang diumpankan Alvaro Arbeloa disambut tendangan setengah voli dari Torres tetapi kembali arahnya melambung. Hull dipaksa harus bermain dengan 10 orang setelah Caleb Folan dikartumerah wasit di menit 58. Folan dituding menendang bek Liverpool, Martin Skrtel, di kotak penalti The Reds. Keunggulan jumlah pemain sukses dimaksimalkan Liverpool lima menit kemudian. Sundulan jarak dekat Dirk Kuyt membelokkan tendangan Skrtel berhasil menambah keunggulan tim tamu jadi 2-0. Meski kalah jumlah, Hull berhasil menggigit balik melalui gol Geovanni di menit 72. Gol berawal dari aksi Daniel Cousin di sayap kiri yang melepaskan umpan silang yang segera dicocor oleh Geovanni yang tak terjaga. Liverpool masih unggul 2-1. Di menit 78, peluang terbaik Torres gagal menghasilkan gol. Mendapat bola kiriman Kuyt dari sayap kanan, bola tandukan Torres membentur mistar gawang Boaz Myhill. Menyadari masih ada sedikit peluang untuk menghindarkan diri dari kekalahan, Hull mencoba menyerang. Tetapi usaha mereka masih belum menemui hasil meski pertahanan Liverpool beberapa kali terlihat tidak tenang menghadapinya. Di saat itulah, datang gol kedua Kuyt yang memastikan kemenangan 'Si Merah' di menit 89. Gol bermula dari tendangan Arbeloa yang bisa ditepis Myhill, dan bola muntah dengan mudah ditendang masuk gawang oleh Kuyt yang berdiri bebas. Skor 3-1 pun akhirnya menjadi kesimpulan akhir saat wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan. Susunan pemain Hull: Myhill; Ricketts, Zayatte, Turner, Kilbane; Fagan, Boateng (Manucho 79), Marney, Geovanni, Barmby; Folan Liverpool: Reina; Arbeloa, Carragher, Skrtel, Insua; Kuyt (Dossena 89), Alonso, Mascherano (El Zhar 85), Benayoun (Agger 87), Lucas; Torres.

Gol Kalou Menangkan Chelsea

West Ham vs Chelsea (AFP/Glyn Kirk) Chelsea tetap menguntit Manchester United dan Liverpool di papan atas, setelah memenangi laga derby London Sabtu (25/4/2009) malam WIB melawan West Ham United dengan skor tipis 1-0. Dalam laga yang dilansungkan di Upton Park, gol Salomon Kalou di babak kedua memastikan raihan poin penting bagi The Blues untuk tetap menghidupkan peluang merebut juara Liga Inggris. West Ham bertindak sebagai tuan rumah sebenarnya punya peluang untuk menyamakan kedudukan lewat Mark Noble lewat titik penalti. Namun Cech dengan sigap mengamankan bola hasil sepakan gelandang Inggris itu. Dengan genggaman tiga angka ini, pasukan Guus Hiddink tetap berdiri kokoh di urutan ketiga klasemen sementara dengan capaian 71 poin dari 34 kali bertanding. Sementara dengan kekalahan ini, pasukan Gianfranco Zola harus rela turun satu tangga ke urutan kedelapan dengan 45 poin.

Liverpool Sementara Berkuasa

Hull vs Liverpool (AFP/Paul Ellis) Liverpool untuk sementara menguasai tampuk pimpinan klasemen Liga Inggris. The Reds sukses mengatasi perlawanan sengit Hull City dan kemudian menang dengan skor 3-1. Keberhasilan menangguk tiga angka dari KC Stadium, Sabtu (25/4/2009), membuat koleksi angka Liverpool bergerak ke 74, cukup untuk menggeser Manchester United yang berpoin sama dengan 'Si Merah' unggul selisih gol. Tiga gol Liverpool kali ini diciptakan oleh Xabi Alonso dan Dirk Kuyt (dua gol). Satu-satunya gol balasan Hull dicetak oleh penyerang andalannya, Geovanni. Posisi teratas klasemen dapat diambil alih lagi oleh MU yang baru akan bertanding melawan Tottenham Hotspur di Old Trafford beberapa menit lagi. Bila 'Setan Merah' menang atau setidaknya seri, mereka akan kembali ke puncak.

Flamengo Siap Tampung Adriano

Adriano (Reuters)Meski sering berperliaku negatif, Adriano Leite Ribeiro rupanya tak sepi peminat. Klub Brasil Flamengo menyatakan siap menerima eks pemain Inter Milan tersebut. Pasca kontraknya diputus oleh Inter, Adriano belum menegaskan klub mana yang bakal menjadi pelabuhan selanjutnya. Namun sang pemain mengisyaratkan akan meneruskan karir di luar Eropa. Sinyal ini ditangkap oleh Flamengo, klub Brasil yang membesarkan nama Adriano. "Kami selalu siap menerima Adriano dengan tangan terbuka," tukas presiden Flamengo Delair Dumbrosk pada Globesporte seperti diberitakan Goal. Namun, ketertarikan ini belum akan ditindaklanjuti dengan serius oleh manajemen klub berjuluk O Mais Querido tersebut. "Saat ini kami masih terlalu sibuk dan belum ada pembicaraan untuk membawa pulang Adriano," tambah Dumbrosck. Apalagi, regulasi di persepakbolaan Brasil menyatakan bahwa pemain tidak bisa bergabung ke sebuah tim hingga bursa transfer dibuka pertengahan tahun. Namun aturan tersebut bisa sedikit diakali. "Jika Flamengo mengajukan permohonan resmi soal perekrutan Adriano ke Federasi Sepakbola Brasil CBF, maka kesepaktan akan dicapai dengan cepat," tutur ahli hukum Brasil Marcos Motta.

Kenapa Inggris Dominan di Liga Champions

 Mengapa lima tahun terakhir tim-tim Inggris mendominasi babak akhir Liga Champions? Tidak mesti juara tentunya, tetapi mendominasi, katakanlah, babak perempat final dan sesudahnya. Salah satu teori yang diajukan tentu saja uang yang berlimpah. Kombinasi penghasilan dari hak siar televisi, penonton yang berlimpah, serta pemasaran merchandise global membuat Premier League berlimpah uang. Dengan uang itu Liga Inggris bisa menyewa pemain bagus dan manajer hebat. Dan karenanya kemudian mereka bisa mendominasi Liga Champions. Mungkin ada benarnya. Penghasilan Premiership sejak tahun 2004 memang jauh meninggalkan liga lain di Eropa. Pukul rata pendapatan bersih kompetisi ini berkisar 700 juta dolar. Bandingkan secara berurutan: Seri A yang hanya 490 juta dolar, Bundesliga 389 juta dolar, serta La Liga 275 juta dolar. Kalau dilihat lewat periode kemakmuran liga kompetisi terkenal di Eropa, secara kasar tentunya, maka ada tiga periode sejak menjelang tahun 1990-an. Italia medominasi babak akhir Piala Eropa selama sepuluh tahun dari 1988 hingga 1998, saat uang masih berlimpah ruah di Seri A, saat industrialis Italia seperti berlomba pamer kekayaan. La Liga mengambil alih dominasi selama lima tahun sesudahnya ketika dana juga seperti tak berbatas. Dan sekarang giliran Liga Inggris karena seperti terlihat data di atas Inggris memang jauh lebih makmur dibanding liga lain. Ketika Seri A mendominasi Eropa, tercatat sembilan kali Italia memecahkan rekor pembelian pemain termahal di dunia. Belum terhitung sekian puluh pembelian pemain asing mahal lainnya. Liga Spanyol dua kali memecahkan rekor pembelian pemain saat lima tahun berkuasa. Klub-klub Inggris tidak memecahkan rekor-rekor pembelian termahal, tetapi jumlah pemain mahal yang dibeli oleh klub-klub Inggris lebih banyak dibanding liga-liga lain. Berjubelnya pemain asing bagus ini mempunyai dua efek yang menguntungkan, setidaknya dalam logika. Satu, meningkatkan mutu kompetisi lokal dan yang kedua karena mutu di tingkat lokal meningkat, maka bersaing dengan klub dari negara lain mereka juga menjadi lebih unggul. Walau pengritiknya mengatakan terlalu banyaknya pemain asing menghambat munculnya pemain lokal yang bagus, tetapi ini persoalan yang memerlukan pembahasan yang berbeda. Masuknya pelatih asing juga meningkatkan mutu permainan, dalam pengertian mereka membawa ide-ide dan pendekatan baru dalam bermain sepakbola. Kedatangan pelatih asing ini juga melecut pelatih lokal untuk belajar dan melakukan (terkadang meniru) inovasi bukan hanya sekadar dalam permainan tetapi juga cara berlatih. Satu hal yang biasanya tidak ingin diubah oleh pelatih, dan pemain asing biasanya juga dituntut untuk menyesuaikan diri, adalah fisikalitas gaya permainan Inggris. Tampaknya hampir semua pelatih maupun pemain asing di Inggris sepakat bahwa ini adalah sebuah kelebihan.Yang perlu disuntik adalah sisi imajinasi dan teknik. Dan hampir semuanya sepakat bahwa yang mereka ingin temukan adalah keseimbangan antara imajinasi dan teknik yang dibawa dari luar, digabung dengan fisikalitas permainan Inggris. Bukan kebetulan kalau keempat wakil Inggris, baik Manchester United, Liverpool, Chelsea, dan Arsenal mengarahkan permainannya ke sana. Dan setidaknya selama lima tahun terbukti paduan imajinasi, teknik dan fisikalitas permainan Inggris terbukti unggul. Arsenal mungkin agak lebih sedikit kurang untuk persoalan fisiknya. Beberapa pengamat menyebut karena kini hampir tidak ada (lagi) pemain (lokal) Inggris yang menjadi pemain inti. Keberadaan pemain lokal, lebih utama lagi yang dididik dan dibesarkan oleh klub yang bersangkutan, merupakan ingredient (bahan racikan) yang tidak kalah pentingnya di samping uang dan pemain asing. Kalau diperhatikan, klub yang konsisten masuk babak akhir Liga Champions, terlepas dari negara mana klub itu berasal, selalu mempunyai keseimbangan yang bagus antara pemain asing dan lokal. Pemain lokal, apalagi kalau di masa kecilnya adalah pendukung klub yang bersangkutan, biasanya mempunyai kelebihan semangat dibanding pemain asing. Perhitungan pemain lokal tidak sekadar bertumpu pada persoalan uang ataupun personal glory, tetapi juga memperjuangkan gengsi klub. Mungkin mereka tidak sehebat pemain impor, tetapi kesadaran menjaga gengsi klub menjadi motivator yang sulit disaingi oleh pemain impor. Itulah sebabnya pemain lokal bagaimanapun tetap menjadi nyawa dari sebuah permainan. Kalau pemain lokal itu ternyata juga berkemampuan setingkat pemain impor, maka akan lebih hebat lagi. Faktor lain tentu saja keberuntungan baik di dalam maupun di luar lapangan. Kita akan kemudian berbicara soal undian, apakah pemain inti ada yang cedera disaat diperlukan, atau ketika bermain -- seberapapun usaha dilakukan-- bola seperti enggan masuk ke gawang, tetapi lawan entah bagaimana caranya seperti gampang mencetak gol. Namun ini seperti suratan nasib. Jadi tak perlu dibahas. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak.

Totalitas Total Football

Van Basten Dan Gullit (sport.it)Total Football bagi saya adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai literatur dan artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa memahami esensi sesuatu. Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi. Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepakbola Belanda. David Winner menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda". Orang Belanda sendiri sampai terkagum-kagum dan mengatakan, ''Ah, jadi begitukah cara berpikir kami.'' Banyak pemain bola Belanda seperti tersadarkan pada sosok yang berada di dalam kaca ketika mereka bercermin. Winner tidak membahas sepakbola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan ''psyche'' paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda. Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal. Kita semua tahu ukuran lapangan sepakbola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan selalu sebenarnya sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya. Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin. Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya. Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar. Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit. Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana. Persoalannya adalah, mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya? Dan mengapa orang Belanda yang bisa melakukannya? Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda. Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel. Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya. Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi. Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia. Lalu apa yang dilakukan? Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka. Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia. Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi. Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial. Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu. Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh. Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya. Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football. Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu. Totalitas. Namanya: Total Football.

Visi Ronny dan Khayal PSSI

(ilustrasi - ist)Mungkin akan terdengar klise, tapi pasti akan begini jawaban Ronny Pattinasarany jika dimintai komentar ihwal rencana PSSI mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia: "Harusnya PSSI berkonsentrasi pada pembinaan pemain muda daripada buang-buang uang untuk kampanye menjadi tuan rumah Piala Dunia." Ronny memang sudah wafat September kemarin dan kita tak mungkin bisa mendengar pendapatnya lagi. Tapi, dengan melihat perhatian dan fokusnya pada pembinaan pemain muda, saya cukup yakin kalau seperti itulah kira-kira pendapat Ronny jika ia masih hidup dan dimintai komentar soal pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia. Ada satu peristiwa yang mungkin belum banyak diketahui publik. Peristiwa ini cukup bisa menggambarkan bagaimana dan di mana letak perhatian Ronny dalam perkembangan sepakbola Indonesia. Seperti dituliskan oleh Arifin Panigoro dalam kata pengantar untuk biografi Ronny yang baru terbit, Dan, Saya Telah Menyelesaikan Pertandingan Ini...., ia mengundang Ronny untuk bertukar pendapat, terutama terkait isu pencalonan Arifin sebagai calon ketua umum PSSI. Ketika itu, sangat banyak orang yang berharap Arifin bisa menjadi orang nomor satu di PSSI, baik dari klub hingga wartawan. Alih-alih mendukung, Ronny secara tegas menolak rencana Arifin untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI. Penolakan itu dinyatakan oleh Ronny bahkan sebelum diskusi keduanya dimulai. Sembari berjabat tangan, Ronny menyatakan penolakannya tanpa tedeng aling-aling. "Saya ingin Bapak berperan penting dalam pembinaan sepakbola usia dini," ungkap Ronny di awal pertemuan yang berlangsung di ruang kerja Arifin. Pendek kata, Ronny bisa meyakinkan Arifin agar memanfaatkan kekuatan dananya tidak untuk penggalangan dukungan pencalonan Ketua Umum PSSI, melainkan untuk digunakan dalam menciptakan kompetisi pemain-pemain muda yang mandeg. Dari situlah kiprah Arifin --melalui Medco Group/Medco Foundation-- dalam pembinaan pemain muda dimulai. Ronny sendiri turun tangan langsung dalam penyelenggaraan Liga Medco. Itu berlangsung sampai akhir hayat Ronny. Beberapa hari sebelum kepergian terakhirnya ke Ghuangzhou untuk berobat, Ronny masih sempat sibuk mengurusi Liga Medco d Yogyakarta. Alumni pemain-pemain Liga Medco inilah yang menjadi tulang punggung Tim Nasional U-16 hingga U-18. Kiprah Ronny di Liga Medco ini melengkapi catatan andil Ronny dalam mendirikan ASIOP, sekolah sepakbola yang banyak menelurkan pemain-pemain muda berbakat Indonesia. Dengan kata-kata yang metaforis, Arifin Panigoro menengenang: "Selama Liga Medco digelar, saya seperti melihat Ronny bermain di lapangan hijau sebagai kapten tim nasional Indonesia." Memang, sudah banyak orang yang berteriak-teriak agar pembinaan pemain muda dan penyelenggaraan kompetisi pemain yunior secara berjenjang dan konsisten sebagai perhatian utama. Tapi, dalam soal itu, Ronny bukan cuma bicara, tapi melakukannya dengan segenap ikhtiar yang ia mampu. Pengalamannya mengarungi persaingan pemain yang ketat di masa kecil di Makasar, kerasnya persaingan di Lapangan Karebosi yang legendaris itu, tampaknya membekas dengan kuat dalam pikiran Ronny. Ia mengalami pahit getirnya berlatih sepakbola secara alami tanpa bimbingan pelatih yang memenuhi standar serta tanpa kompetisi khusus pemain yunior. Ronny bukan hanya tidak ingin pengalaman itu kembali terulang, tapi ia juga sangat paham: bakat mutiara sekali pun tak bakal berarti tanpa bimbingan pelatih yang bisa mengenalkan pemain muda pada sistem permainan modern dan talenta yang cemerlang sekali pun musykil menjadi berlian yang kemilau tanpa diasah melalui kompetisi yang bermutu baik. Membangun sistem pembinaan dan kompetisi pemain muda itulah yang menjadi visi Ronny, legenda yang pernah dijuluki "Beckenbauer-nya Asia" sewaktu membela Asia All-Star di penghujung 1970-an. Sekali lagi, itulah visi seorang Ronny, bukan khayal seorang Ronny. Beda antara visi dan khayalan terletak pada kemampuannya memahami realitas. Visi bersandar pada realitas yang dari sana disusun rencan-rencana untuk mengubah realitas agar menjadi lebih baik, sementara khayal tak dibatasi oleh realitas, sepahit atau semanis apa pun realitas yang dihadapi. Orang miskin yang tak mau bekerja keras bisa saja berkhayal menjadi seorang miyuner. Tapi, orang miskin yang tahu caranya mengubah nasib, pasti tidak akan berkhayal menjadi milyuner, melainkan akan berpikir bagaimana caranya bisa membuat usaha sekecil apa pun, lantas menyusun ikhtiar dalam mendapatkan modal usaha, sesedikit apa pun modal itu, yang dari sana dimulailah pertarungan hidup untuk mengubah nasib. Kita adalah si miskin, kaum paria, dalam belantika sepakbola, nyaris dalam segala aspeknya. Dan, bagi Ronny, upaya untuk mengubah nasib itu tidak dengan cara menjadi tuan rumah Piala Dunia. Sekaya apa pun sebuah negara, FIFA mustahil memilih sebuah negara sebagai tuan rumah Piala Dunia jika negara itu sendiri tak punya kemampuan manajemen yang baik dalam kompetisi lokal. Sehebat apa pun sebuah negara menyiapkan infrastruktur, FIFA pasti akan berpikir ulang memilih sebuah negara sebagai tuan rumah Piala Dunia jika negara itu tak punya prestasi apa-apa bahkan hanya untuk di kawasannya sendiri. Jepang dan Korea Selatan bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002 bukan cuma karena kemampuannya menyiapkan infrastruktur, tapi karena keduanya punya prestasi di atas rata-rata dan konsisten untuk kawasan Asia. Berkhayal memang nikmat. Para tahanan di penjara yang tak punya kegiatan apa-apa pasti tahu kegunaan berkhayal sebagai perintang waktu. Jika tak percaya, bertanyalah pada yang pernah dipenjara, jangan tanyakan pada Ronny Pattinasarany.

Man City: Menggapai Prestasi, Sensasi atau Mimpi?

Robinho, Bellamy (Reuters)Guyuran mata uang baht dan dinar yang bergantian mengisi kas keuangan klub Manchester City, salah satu penghuni Liga Premier Inggris, ternyata belum berdampak secara signifikan pada peningkatan prestasi klub tersebut. Pergantian kepemilikan klub berjuluk The Citizens yang sebelumnya dimiliki oleh seorang konglomerat sekaligus mantan perdana menteri Thailand, Thaksin Shinawatra. Dan kemudian menjualnya kepada Sheikh Mansour bin Zayed al Nahyan, adik kandung penguasa Abu Dhabi dan salah satu politisi paling berpengaruh di Uni Emirat Arab (UEA), sampai saat ini belum berkorelasi positif terhadap penampilan klub tersebut di lapangan hijau. Kinerja City di musim kompetisi 2008/2009 ini naik turun bak rollercoaster. Setelah menyelesaikan 25 laga, mereka harus puas berada di peringkat sembilan dengan poin 31, hasil raihan 9 kali kemenangan, 4 kali seri dan menelan 12 kali kekalahan. Meskipun memiliki rekor memasukkan gol yang sangat bagus sejumlah 42 gol, namun mereka tidak memiliki lini belakang yang tangguh menghadang serangan lawan, sehingga terpaksa kemasukan 34 gol, atau bisa dibilang lebih dari 1 gol per pertandingan. Sementara di ajang Piala Liga Inggris, klub Eastlands ini harus tersingkir di babak kedua setelah tumbang melawan klub Divisi I, Brighton & Hove Albion FC. Sedangkan di ajang FA Cup, nasib mereka pun sama saja ketika harus kalah 0-3 di babak ketiga menghadapi Nottingham Forest, klub dari Divisi Championship, satu level di bawah Liga Premier. Ramuan yang diusung Mark Hughes sebagai manajer belum bisa memenuhi ambisi Sheikh Mansour yang ingin klubnya bisa menembus jajaran Big Four Liga Inggris. Dukungan dana melimpah dari sang pemilik pun belum mampu menjadi daya tarik bagi pemain-pemain terbaik dunia untuk bergabung menjadi anggota skuad Biru Langit ini. Selama bursa transfer musim dingin yang berakhir Senin sore kemarin waktu setempat, klub yang berkandang di City of Manchester Stadium ini hanya berhasil menggaet pemain-pemain yang bisa dibilang masuk Grade B dari pemain yang selama ini beredar di Liga Inggris. Mereka hanya bisa merekrut full back Inggris, Wayne Bridge, dari Chelsea, striker Wales, Craig Bellamy dari West Ham, gelandang timnas Belanda, Nigel de Jong dari Hamburg SV dan kiper timnas Irlandia, Shay Given dari Newcastle United. Sensasi kedua yang ingin mereka hadirkan, setelah di awal musim ini sukses membeli pemain depan timnas Brazil, Robinho dengan nilai £32,5 juta dari klub raksasa Spanyol, Real Madrid, ternyata menemui jalan buntu. Gelontoran uang yang sudah disiapkan sebagai magnet penarik Kaka dari klub AC Milan, Italia tidak digubris oleh sang pemain. Meskipun sempat tergoda, Ricardo Izecson dos Santos Leite alias Kaka akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan di Milan yang sudah dianggap sebagai keluarga baginya. Dengan skuad yang dimilikinya sekarang ini, Hughes diharapkan bisa memenuhi target dari Sheikh Mansour, atau paling tidak menyamai prestasi manajer yang digantikannya Sven-Goran Eriksson di mana di akhir musim 2007/2008, City berada pada peringkat 9, setelah di dua musim sebelumnya ada di posisi 14 dan 15. Hughes dibayang-bayangi ancaman pemecatan jika tidak bisa memenuhi target Sheikh Mansour. Karir mantan manager Blackburn Rovers dan timnas Wales dalam menangani City bisa diputus di akhir musim ini. Sheikh Mansour pun sudah menyiapkan sederet penggantinya, beberapa nama pun sudah mulai disebut-sebut seperti Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, Roberto Mancini, Fabio Capello, Luiz Felipe Scolari dan mungkin akan menarik kembali Eriksson. Namun jika berkaca pada keberhasilan Chelsea meraih juara Liga Inggris di musim 2004/2005 dan 2005/2006, City mestinya tidak perlu berganti-ganti manager setiap musimnya. Thaksin ketika masih menjadi pemilik klub tidak perlu terburu-buru mengganti Eriksson dengan Hughes. Dengan portfolio yang dimiliki Eriksson, harusnya dia masih mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya meramu tim Eastlands. Di musim pertamanya, Mourinho memang langsung sukses membawa Chelsea menjadi juara liga Inggris setelah puasa 50 tahun lamanya. Namun sukses tersebut tidak sepenuhnya instan, yang tidak boleh dilupakan adalah peran manajer Chelsea sebelumnya, Claudio Ranieri. Selama 5 musim menangani Chelsea semenjak tahun 2000, Ranieri telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam pola permainan dan membangun kekompakan tim Chelsea, yang terbukti dengan kenaikan peringkat secara konsisten setiap musimnya. Masuknya Roman Abramovich dengan suntikan dana yang melimpah semakin memperkuat skuad Chelsea. Di akhir musim 2003/2004, Ranieri membawa Chelsea pada peringkat 2, di bawah Arsenal yang menjadi juara liga dan di atas Manchester United. Ambisi juara yang dimiliki Abramovich membuatnya tak sabar sehingga mengganti Ranieri dengan Jose Mourinho yang baru saja sukses membawa FC Porto menjadi Juara Liga Champions Eropa musim 2003/2004. Dengan skuad yang diwarisi dari Ranieri dan tambahan pemain-pemain baru, Chelsea sukses menjadi juara Liga Premier Inggris dua kali berturut-turut. Di akhir musim nanti kita akan melihat bagaimana prestasi City dan nasib Hughes. Namun Sheikh Mansour harus bersabar untuk melihat City menggapai prestasi dan menembus Big Four Liga Inggris. Jika tidak demikian, Sheikh Mansour hanya bisa membuat sensasi belaka dan hanya bermimpi City masuk jajaran klub elite dunia. Sama halnya dengan mimpi dan sensasi dari PSSI untuk menggelar Piala Dunia 2018 atau 2022 di Indonesia.

Menyemai Ragu Dibenak

Wenger & Fergie (dtc)Dalam kompetisi sepakbola di Inggris ada periode tiga bulan yang sangat menentukan: Desember, Januari, Februari. Di tiga bulan ini pertandingan begitu padat, otomatis jumlah angka yang diperebutkan begitu besar, dan karenanya biasanya akan terbaca klub mana yang akan menjadi juara ataupun terdegradasi. Di tiga bulan itu pertarungan tidak lagi semata-mata ada di lapangan tetapi di kepala dan hati. Pergolakan yang ada di kepala dan hati menjadi lebih penting karena apa yang terjadi di lapangan seringkali sekadar cerminan pergolakan tadi. Coba perhatikan betapa di tiga bulan itu frekuensi bertukar kata antarmanajer sangat tinggi. Saling kecam, saling kritik, saling ejek, saling merendahkan, dan (sebenarnya) saling menyemai ragu di benak lawan. Terutama di antara sesama saingan. Manajer melakukan itu bukan sekadar untuk menanam keraguan di benak manajer lain tetapi juga di benak pemain lawan. Cara mereka melakukan itu tentu saja dengan kejenialan masing-masing manajer. Alex Ferguson adalah salah satu manajer jagoan untuk urusan seperti ini. Salah satu yang selalu diingat orang adalah kompetisi tahun 1995/1996 ketika Manchester United bersaing dengan Newcastle. Tertinggal 12 angka di bulan Januari, Ferguson dengan santai meragukan kesungguhan tim-tim di Inggris bila tidak melawan MU. Beberapa tim yang disebut saat itu adalah mereka yang akan melawan Newcastle di lanjutan kompetisi. Kevin Keegan yang saat itu menjadi manajer Newcastle, dalam sebuah wawancara siaran langsung di telivisi tak mampu mengendalikan emosi menghadapi tuduhan Ferguson itu. Dengan sorot mata merah, suara serak marah, ia menyumpah akan sangat bergembira kalau bisa mengalahkan MU. Yang terjadi kemudian, entah kebetulan atau tidak, lawan-lawan Newcastle selalu bermain kesetanan, sementara Keegan seperti kehabisan akal menata anak asuhnya. MU kemudian menjadi juara. Tetapi jangan salah, ini bukan kelakuan Ferguson seorang. Jose Mourinho juga tak kalah lihainya. Ketika ia pertama kali datang ke Chelsea tahun 2004 dengan percaya diri ia menobatkan diri sebagai The Special One. Dan kapan ia mengulang-ulang kembali pernyataannya ini, bulan Desember. "Aku tak butuh menonjolkan prestasiku, tim yang pegang The Special One selalu hebat. Kecuali Ferguson, tidak ada yang menyamaiku di negeri ini, pernah memenangi Liga Champions." Arogan tetapi menumbuhkan efek percaya diri luar biasa bagi Chelsea dan membuat musuh harus mengakui. Arsene Wenger? Tak kalah lihainya. Ketika musim kompetisi 2004/2005 ia melihat Chelsea-lah lawan satu-satunya saat itu untuk berebut juara liga. MU dan Liverpool sibuk membangun kembali kekuatan mereka sehingga belum di puncak. Menjelang Desember tiba-tiba muncul tuduhan dari Wenger bahwa Mourinho terobsesi apapun yang serba Arsenal. Satu persoalan yang sebenarnya dipicu sejak musim kompetisi sebelumnya dengan kepindahan Ashley Cole yang tidak mulus. Tetapi Wenger menunggu hingga kompetisi masuk jadwal padat Desember, Januari, Februari. Saling tuding pun akhirnya terjadi. Mourinho balas menuduh Wenger keranjingan dengan segala sesuatu yang berbau Chelsea. Mereka bahkan saling ancam akan membawa masing-masing pihak ke pengadilan. Wenger dan Mourinho bahkan katanya sudah saling menumpuk bukti akan obsesi masing-masing itu. Apa yang terjadi? Nol besar. Karena memang yang terjadi adalah sekadar perang urat syaraf untuk menanamkan keraguan di benak, memupus rasa percaya diri lawan. Siapa yang tak kuat biasanya akan ambruk. Kalau untuk musim kompetisi sekarang cobalah perhatikan apa yang terjadi antara Alex Ferguson dan Rafael Benitez sejak Desember. Menarik. Juga memberi gambaran tim mana yang sebenarnya sedang bersaing kuat untuk berebut juara.

Saga Tentang Kaka

 Eduardo Galleano, sastrawan Uruguay yang menulis 'El futbol a Sol y Sombra', pernah melancarkan kritik tajam pada dua pihak sekaligus: rezim pemerintah di Amerika Latin, baik yang berideologi "kanan" atau "kiri" yang mengeksploitasi sepakbola untuk kepentingan politik. Penulis trilogi novel 'Memoria del Fuego' ini menyerang intelektual kiri yang merusak sepakbola semata untuk mengkampanyekan keyakinan ideologis mereka. Tapi ia jauh lebih keras lagi menyerang kapitalisme global yang menjadikan sepakbola begitu komersil.

Kapitalisme memang telah membuat sepakbola menjadi berkembang dengan cara yang tak pernah bisa dilakukan pada dekade-dekade sebelumnya. Efek domino dari industri sepakbola telah dirasakan oleh banyak orang yang tak bersentuhan langsung dengan lapangan hijau. Tak terhitung, misalnya, kampung-kampung di pedalaman Afrika yang mendapat sokongan dana yang digelontorkan warganya yang sukses menjadi pesepakbola di Eropa. Kritik terhadap penetrasi kekuatan uang memang tak pernah berhenti dan akan selalu ada. Tapi, sepanjang sejarah industri sepakbola, barangkali baru gerak Manchester City memburu Kaka yang berhasil membuat semua orang yang terkait langsung atau tidak dengan sepakbola seperti kebakaran jenggot, syok dan pelan tapi pasti menyampaikan kritik yang nyaris sama: polah pemilik City sukar diterima akal sehat. Tawaran 100 juta poundsterling kepada Milan dan rumor 500 ribu pounds per pekan untuk Kaka memang tak pernah dibayangkan oleh siapapun, tidak juga oleh seorang Roman Abramovich. Inilah tanda kapitalisme benar-benar sudah tak terbendung? Belum tentu juga. Kapitalisme mungkin sistem yang rakus dalam urusan mengeruk laba. Tapi serakus-rakusnya kapitalisme, ia terikat dengan azas dan prinsip-prinsipnya sendiri: mempertimbangkan logika pasar, menghitung keseimbangan pengeluaran dan pemasukan, memetakan tata keuangan global yang sedang remuk oleh krisis, serta mengukur nalar-ekonomi dalam industri sepakbola. Tawaran City jelas-jelas sukar diterima dilihat nyaris dalam semua aspek sekalipun. Secara bisnis, sukar menghitung bagaimana para syeikh yang jadi juragan City akan menutup pengeluaran. Abramovich pun pasti tak bisa menjawab dengan pasti kapan duit yang ia keluarkan untuk Chelsea mencapai break event point, terlebih setelah dunia dihajar krisis finansial yang akut. Di tengah himpitan krisis finansial yang membikin angka kemiskinan dan pengangguran merangkak naik di nyaris semua penjuru bumi (plus isu Palestina yang mengharu biru), tawaran gaji untuk Kaka seperti pelecehan atas akal sehat dan tanpa mengukur kepekaan pada isu-isu kemanusiaan. Saga transfer ini tidak lagi menjadi isu teknis sepakbola atau kalkulasi dagang, tapi sudah menjadi sebuah isu moral, baik itu moral dalam spirit sepakbola maupun moral dalam pengertiannya dirinya sendiri. Pertanyaan moral ini bisa diajukan pada ketiga pihak yang terlibat: Kaka, Milan juga pemilik City. Kepada Kaka, publik sungguh ingin tahu bagaimana ia mengejawantahkan kalimat "I Belong to Jesus" yang terpacak di kaos yang ia gunakan saat selebrasi penyerahan trofi Liga Champions yang digondol Milan dua musim lalu. Kaka, yang mengaku buku favoritnya adalah alkitab dan nyanyian kesayangannya adalah koor gereja, serta lama menjadi ikon pemain yang religius dan sederhana, diuji oleh godaan uang City. Mungkin seperti berlebihan menghubungkan isu transfer ini dengan soal moralitas, apalagi kepercayaan personal. Tapi, melihat besaran uang dan konteks dunia yang sedang sekarat, sudut pandang ini layak untuk diajukan. Tak urung, harian The Telegraph sampai menurukan laporan berjudul 'Kaka: a virtuoso with faith in Milan and Jesus'. Kolom Bryan Robson di BBC juga menyinggung hal serupa. Robbo bahkan tegas-tegas menulis: 'No-one, NO-ONE, deserves to earn £100m.' Milan sendiri layak dimintai pertanggungjawab jika menjual Kaka. Ini bukan hanya menjadi hak suporter Milan, tapi juga menjadi hak siapa saja yang menyukai sepakbola sebagai sebuah olahraga sekaligus seni bermain yang --menyitir Graham Taylor-- mutlak membutuhkan passion dan spirit yang tak terkalkulasi oleh gelontoran uang. Para pelaku dalam industri sepakbola juga pantas untuk bertanya pada Milan karena jika saga transfer ini sampai berhasil, tata-niaga dalam pasar pemain sepakbola bisa berantakan, jauh lebih remuk-redam ketimbang yang dilakukan Abramovich. Sistem pembinaan pemain muda juga terancam dengan langkah-langkah super-instan macam yang dilakukan City pada Kaka ini. Tapi, di atas semua itu, syeikh-syeikh dari Abu Dhabi yang jadi juragan City menjadi pihak yang pantas untuk "ditembak" melebihi Kaka atau Milan sendiri. Sebab, jika mereka tidak "segila" ini, saga transfer ini tak mungkin bisa muncul. Kekayaan ADUG, konsorsium para syeikh Abu Dhabi yang kini menjadi juragan City, memang tak alang kepalang. Tapi, untuk apa sebenarnya? Mungkin mereka mencari reputasi atau menggunakan isu sepakbola untuk meningkatkan posisi tawar pada area yang lain -- katakanlah ini hanya satu tahap dari sekian tahapan berikutnya yang sedang diincar. Atau, jangan-jangan, mereka memperlakukan saga transfer ini --juga take-over yang mereka lakukan atas kepemilikan City-- tak lebih sebagai kesenangan orang-orang yang sudah tak tahu lagi dengan cara apa mereka menghabiskan uang. Mungkin para syeikh itu justru sedang menikmati prinsip dasar dari sepakbola dengan cara yang ekstrim dan tak pernah kita duga: kesenangan, klangenan, main-main. Ya, permainan. Dalam ujudnya yang absurd, tentu saja.

Temaram di Morumbi

Kaka, dari Sao Paulo sukses di Eropa (ist)"Faktanya adalah kami memasok pemain untuk seluruh dunia dan sepakbola adalah bisnis," jelas Orandi Mura atau Nino di sebuah sore yang panas sembilan bulan lalu ketika kami mengobrol tentang bertebarannya pemain Brasil di seluruh dunia. "Brasil tidak akan pernah kehabisan bakat," tambahnya yakin. "Semua orang Brasil bermimpi menjadi pemain bola. Bisnis ini menguntungkan. Semua klub di Brasil ingin mendapat keuntungan dengan menjual pemain mereka ke klub kaya Eropa." Nino adalah salah seorang pejabat pemasaran di klub sepakbola Sao Paulo, salah satu klub paling sukses di Amerika Latin. "Salah satu tanggung jawab saya adalah juga memasarkan pemain walau tidak terlibat dalam transfernya secara langsung," akunya sambil tersenyum. Obrolan kami berlangsung sambil berjalan di lorong-lorong di bawah tribun stadion Cicero Pompeu de Toledo. Stadion yang lebih terkenal dengan nama Morumbi karena terletak di daerah Morumbi, salah satu bagian kota yang makmur di Sao Paulo, tempat sebagian orang kaya Sao Paulo dan para diplomat bermukim. Ketika obrolan terjadi tentu saja kami belum sadar bahwa dunia sedang akan menuju resesi. Karenanya bisa dimenegerti optimisme Nino bahwa dunia akan terus menyerap bakat-bakat sepakbola Brasil masih sangat kuat. Bahwa bisnis akan terus berputar dan keuntungan akan bisa dipanen. Jumlah pemain sepakbola Brasil yang mencari makan di luar negeri memang luar biasa. Beberapa sumber menyebut hingga lima ribuan. Dari nama-nama besar bermain di kompetisi kelas satu hingga nama-nama yang tak dikenal sama sekali bermain di kompetisi kelas kampung. Saya tidak tahu berapa yang bermain di Indonesia, tapi konon cukup banyak. Banyak di antara pemain yang merantau itu kemudian mengadopsi kewarganegaraan tempat mereka bermain karena keinginan mereka untuk bermain di tim nasional Brasil bisa dikatakan tertutup. Atau kehidupan mereka di negara tujuan lebih baik ketimbang di Basil. Di Eropa, negara-negara seperti Portugal, Jerman, Turki, dan Kroasia -- untuk menyebut beberapa -- memiliki pemain Brasil yang telah dinaturalisasi. Beberapa negara Asia dan Afrika juga tak ketinggalan melakukannya. Bagi Sao Paulo pemasukan dari jual beli pemain sangat membantu kehidupan klub itu. Nino enggan menjelaskan rinciannya. Tetapi ia memberi contoh, menjual satu pemain ke klub Eropa kaya akan bisa menghidupi kehidupan akademi sepakbola Sao Paulo yang berisi 200-an pemain dari yang berumur 10 hingga 18 tahun setidaknya satu tahun. Bahkan beberapa tahun kalau seperti saat Denilson pindah ke Real Betis sekian tahun silam sebagai pemain termahal dunia dengan nilai transfer sekitar 22 juta poundsterling. "Tentu kami tidak bisa setiap saat menjual pemain bagus ke klub kaya di Eropa sana," jelas Nino. "Tetapi kami bisa menjual pemain lulusan akademi kami ke mana saja, termasuk ke negara Anda. Kalaupun tidak dengan harga mahal setidaknya uang pendidikannya tertutupi." Sesuai dengan masa transfer di Eropa, menjelang pertengahan tahun biasanya adalah masa-masa sibuk buat Sao Paulo. Seandainya tidak ada klub Eropa yang tertarik dengan pemain mereka, barulah kebelahan dunia lain pemain ditawarkan. Proses yang sama terjadi pada bulan Januari seperti sekarang ini, saat jendela transfer pemain dibuka. "Saya tak yakin bisa menemui kalau Anda datang pada bulan-bulan itu," katanya untuk menggambarkan kesibukan yang dia hadapi. Bulan Januari ini di salah satu televisi olahraga Inggris secara konstan ditayangkan berita transfer dengan segala gosip yang beredar. Lengkap dengan catatan hari, jam, detik tersisa sebelum jendela transfer ditutup. Berbeda dengan tahun lalu, kali ini pergerakan tidak terlalu banyak. Mungkin kurang dari separuh dari apa yang terjadi tahun lalu. Gosip juga lebih banyak berkisar diantara pemain yang sudah ada di Eropa. Krisis keuangan dunia benar-benar terasa dampaknya untuk industri sepakbola. Angan-angan saya pun melayang jauh kembali ke Brasil, ke Sao Paulo, ke Morumbi, ke Nino. Adakah ia sesibuk tahun-tahun sebelumnya? Adakah Sao Paulo akan bisa menjual pemain-pemain berbakatnya? Adakah krisis keuangan menghantam ekspor pemain Brasil ke luar negeri? Dalam bayangan saya, ada temaram di Morumbi. Menekuni angka ekspor yang turun untuk tahun ini. Bisnis kelihatannya tidak secerah tahun-tahun sebelumnya.

Tergantung Padamu, Gerrard

Gerrard (Reuters)Paceklik juara liga kompetisi Inggris untuk klub sebesar Liverpool bisa dikatakan sudah terlalu lama, 19 tahun. Tentu mereka tidak ingin berlangsung lebih lama lagi. Tetapi bisakah mereka kira-kira melakukannya tanpa sang kapten Steven Gerrard? Pertanyaan ini wajar muncul karena Gerrard benar-benar merupakan detak jantung permainan Liverpool. Untuk sementara di Inggris ini tidak ada satu klub yang begitu bergantung pada satu pemain kecuali Liverpool. Dari kakinya segala serangan berawal, dari kakinya pula segala pertahan dimulai. Kalau semua pemain depan kesulitan untuk mencetak gol, Gerrard akan bergerak sendiri untuk memberi contoh. Kalau Liverpool kesulitan melepaskan diri dari tekanan, Gerrard akan bertahan, membawa bola keluar dan melepas Liverpool dari kesulitan. Saat Gerrard bermain bagus, Liverpool bermain bagus. Saat buruk, beruntung buat Liverpool karena ini jarang terjadi, celakalah Liverpool karena buruk pula permainan tim. Bukan berarti Liverpool tidak mempunyai pemain bagus, tetapi yang bisa menjadi denyut jantung hanyalah Gerrard. Yang lain adalah sekondan. Pendukung Liverpool tentu ingat kejadian yang menimpa musuh bebuyutan mereka, Manchester United. Tahun 80-an ketika Liverpool sedang berada di salah satu dasawarsa emas mereka, Manchester United sedang berusaha untuk mengakhiri paceklik gelar kompetisi mereka sejak 1967. MU mempunyai pemain yang gaya permainan maupun posisinya persis seperti Gerrard, Bryan Robson. Berulangkali Man United memimpin klasemen sementara, tetapi begitu Robson tidak bermain, entah karena cedera atau sebab lain, Man United tidak pernah meraih kemenangan. Begitu Robson kembali, Man United kembali memetik kemenangan tetapi biasanya pengumpulan angka sudah terlalu jauh. Baru menjelang akhir kariernya Robson bisa membawa Man United menjadi juara, itupun setelah dibantu oleh keberadaan Eric Cantona. Ada warisan Robson yang tentu akan sangat disukai oleh pendukung Liverpool apabila itu terjadi pada Gerrard. Permainan bravado Robson memberi inspirasi pada generasi emas Man United: Neville bersaudara, Beckham, Scholes, Butt, dan Giggs semuanya ingin menjadi pemain tengah dan bermain seperti Robson. Walau hanya Scholes dan Butt yang tetap menjadi pemain tengah, kita tahu generasi itu membawa zaman keemasan MU yang masih berlanjut hingga sekarang. Boleh jadi Gerrard akan menggairahkan anak-anak Liverpool seperti Robson menggairahkan anak-anak Manchester. Tetapi Liverpool tidak ingin menunggu hingga akhir karier Gerrard untuk meraih gelar juara lagi. Gerrard pasti menginginkan yang sama. Apalagi Gerrard sendiri adalah pendukung Liverpool sejak kecil. Berbeda dengan Michael Owen, Robbie Fowler, atau juga Jamie Carragher yang dikenal sebagai pendukung berat Everton sebelum bermain untuk Liverpool. Gerrard harus terus bermain agar Liverpool tidak terperosok dalam sejarah yang sama dengan saingan bebuyutannya. Persoalannya bisakah Gerrard menghindari cedera? Dan apakah Gerrard bisa menjauhi kehidupan malam dengan segala eksesnya? Cedera tidak bisa ditebak. Suratan nasib. Kalau malang tidak bisa ditolak. Jadi hanya bisa berdoa jangan sampai terjadi. Kehidupan malam lain lagi persoalannya. Manajer Liverpool Rafael Benitez ketika pertama kali datang ke Liverpool pernah menyatakan kekhawatirannya. Melihat kebiasaan pemain bola, sebetulnya bukan hanya di Inggris tetapi terlebih-lebih di Premier League, Benitez meminta pemain Liverpool untuk mengurangi kebiasaan begadang di klub malam dan minum-minum. "Mereka hanya harus menahan diri sekitar 15 tahun," kata Benitez saat itu terutama mengacu pada Gerrard. "Setelah pensiun kalaupun ingin memiliki pub (tempat minum) mereka akan punya cukup uang. Klub malam juga tidak masalah." Namun begitulah. Kadang-kadang sulit untuk menahan diri. Senin malam lalu terjadi keributan di sebuah klub malam di Southport, sedikit ke arah utara Liverpool. Gerrard bersama beberapa temannya didakwa melakukan tindakan penyerangan dan kekerasan terhadap seseorang dan sempat meringkuk semalam di tahanan polisi sebelum dilepas dengan jaminan. Bisa jadi di ujung persoalan ia akan dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Persoalannya adalah apabila peristiwa itu kemudian mengganggu penampilannya di lapangan. Atau karena berkaitan dengan peristiwa itu ia tidak bisa turun kelapangan. Yang manapapun terjadi membuat Liverpool akan kelimpungan. Kalau karena persoalan-persoalan seperti ini Liverpool kemudian gagal menjadi juara, betapa akan menyesalnya. Terserah kepada Gerrard untuk menyadarinya.

Menuai Sukses, Bukan Sahabat

Capello (AFP/Carl de Souza)Ini sudah satu tahun sejak seorang Italia bernama Fabio Capello dipilih sebagai manajer tim nasional Inggris. Sukses terbesarnya sejauh ini adalah dia mengingatkan semua orang bahwa dirinya yang paling menentukan. Sejak ditangani Capello, berubahkah gaya permainan Inggris? Tidak. Lebih hebatkah tekhnik dan ketrampilan pemain Inggris? Tidak. Meningkatkah pemahaman pemain Inggris akan siasat dan strategi permainan? Tidak. Jadi? "Ketika untuk pertama kalinya saya memegang tim nasional bertanding melawan Swiss, barulah saya tahu apa yang salah dengan tim ini,'' aku Capello. "Saat berlatih, tekhnik dan fisik pemain sungguh fantastis, tetapi begitu turun ke lapangan saya seperti melihat sekelompok pemain yang berbeda. Saat itulah saya tahu problemnya ada di kepala mereka." Salah satu teka teki besar di Inggris ini adalah bahwa pemain Inggris bisa tampil luar biasa setiap minggu untuk klub mereka tetapi begitu tampil di tim nasional seolah kemampuan mereka lumer begitu saja. Sebelum-sebelumnya yang selalu disalahkan adalah ketidakmampuan manajer tim nasional untuk menemukan sistem permainan yang cocok untuk memaksimalkan sekumpulan pemain bagus itu. Capello menyebut alasan itu omong kosong dan mengatakan pemain bagus akan selalu bisa beradaptasi dengan sistem apapun yang diinginkan manajer. Kalau tidak, maka gugurlah sebutan pemain bagus itu. Ia, seperti yang kemudian ia temukan di pertandingan melawan Swiss, menganggap persoalannya adalah rasa percaya diri. Yang ia kemudian coba pecahkan adalah mengapa rasa kurang percaya diri itu muncul dan bagaimana mengatasinya. Catatan setahun pertama kerjanya adalah pada persoalan ini. Sementara hasil di lapangan adalah sekadar konsekuensi logis dari berhasil tidaknya ia mengurai persoalan itu. Capello sejak awal sekali menekankan bahwa ia adalah penentu kata akhir apakah pemain bermain buruk atau bagus. Ia menuntut pemain untuk tidak memperhatikan apa kata media yang selalu melakukan penilaian per pertandingan. Walau tidak pernah mengatakan secara langsung, dalam banyak hal Capello menyalahkan media sebagai pihak yang memahatkan rasa tidak percaya diri pada pemain. Mereka, media, dengan berlebihan melambungkan tim nasional ke awang-awang ketika bermain bagus, tetapi membantai habis-habisan ketika bermain buruk. Akibatnya muncul semacam atmosfer ketakutan pada apa kata media setiap kali mereka turun ke lapangan. Dan percayalah, media Inggris ini sangat kejam bila membantai pemain mereka sendiri. Akibat lebih lanjut lagi tim nasional seperti bermain untuk menyenangkan media dan bukannya untuk kebanggaan negara. Satu alasan mendasar yang salah bagi pemain ketika turun ke lapangan. Capello tidak sekadar menuntut pemain untuk bersikap seperti itu. Tetapi ia sendiri memberi contoh tentang mengabaikan sikap media itu. Kritik apapun yang ditimpakan padanya selalu ditanggapi dengan sikap, "aku bekerja bukan untuk kalian, dan karenanya aku tidak perlu mempertanggungjawabkan pekerjaanku kepada kalian." Capello merasa mulai berhasil mengubah sikap pemain justru bukan saat Inggris bermain bagus atau memenangkan pertandingan, tetapi justru ketika kalah dalam pertandingan persahabatan 0-1 melawan Prancis. Media Inggris menyebut pertandingan itu membosankan, pemain Inggris tak punya semangat, kalah kelas, kalah taktik, dan kalah strategi. Tak beda dengan tim-tim Inggris sebelumnya. Capello berkata, "Mereka runner up Piala Dunia. Dan permainan kalian menandingi mereka. Kalian, kita, semakin baik, meningkat, dan maju." Betapa beda penilaian media dan Capello. Dan Capello mengungkapkan penilaiannya itu secara terbuka tak peduli apa kata media. Pemain pun seperti tersadarkan untuk siapa mereka bermain. Langkah lain Capello adalah membongkar aristokrasi pemain elit Inggris dan mengembalikan sistem meritokrasi seperti seharusnya. Nama besar pemain kalau sedang tidak bagus maka akan ia buang. Contoh klasik adalah Michael Owen. Berulangkali di masa lalu Owen, asal sehat dan tidak cedera, akan secara otomatis dipanggil tim nasional. Tetapi sudah setahun terakhir, walau beberapa bulan di antaranya disebabkan oleh cedera, tidak pernah dipanggil oleh Capello. Ia mengatakan tidak menutup pintu untuk Owen, tetapi pada saat bersamaan mengatakan semua pemain Inggris mempunyai kesempatan untuk masuk tim nasional, siapapun dia. David Beckham, walau sudah diberitahu kalaupun dipilih tidak akan menjadi pemain inti, bersedia bersusah payah menjadi pemain pinjaman di AC Milan. Ia tahu Capello seperti apa karena pernah bermain untuknya di Real Madrid. Bukan hanya pada pemain dan media Capello bersikap tegas. Terhadap klub-klub Inggris ia menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa. Sama dengan sikapnya terhadap media, Capello walau mengerti harus bekerja sama dengan berbagai klub yang ada, tetapi juga melihat klub sering egois dan tidak mau berkorban demi tim nasional. Di masa lalu terlalu sering manajer tim nasional seperti tunduk dengan manajer klub, terutama klub besar. Klub dengan mudah menarik pemain mereka dari pertandingan persahabatan dengan alasan cedera. Klub cukup mengirimkan surat dari dokter klub tentang yang dialami pemain itu. Kini surat dokter klub tidak cukup. Pemain yang dipanggil tim nasional kalau berhalangan karena cedera harus juga diperiksa tim kesehatan tim nasional. Barulah diputuskan apakah pemain yang bersangkutan memang layak istirahat. Capello mengancam, pemain yang enggan memenuhi tuntutan persyaratannya tidak akan lagi dipanggil selama ia memegang tim nasional. Tak heran kalau pernah pemain sekaliber Steven Gerrard bersedia pulang balik sejauh 750 kilometer hanya untuk membuktikan ia memang cedera. Liverpool sangat marah karena Capello tidak mempercayai dokter klub, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Capello tidak peduli bahwa kebijakan-kebijakannya membuatnya tidak disukai banyak pihak. Sejak lama, sejak ia pertama kali merintis karir sebagai manajer sepakbola, ia tahu tidak sedang beramah-tamah untuk mendapat teman baru. Yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana ia bisa sukses memenuhi tuntutan kontraknya. Dan ia akan dinilai berdasar hasil kerjanya, bukan berapa banyak teman yang ia dapat. Setahun pertama memegang tim nasional Inggris, harus diakui nilainya memang memuaskan.

Aku Hanya Antonio Cassano

CAssano (AFP)Mengikuti kehidupan pemain sepakbola Italia, Antonio Cassano, sungguh sangat berbeda dengan menelaah kehidupan pemain sepakbola pada umumnya. Biografi pemain sepakbola biasanya sangat membosankan, penuh dengan cerita seragam, bagaimana keinginan untuk meraih prestasi puncak adalah segalanya. Perjalanan hidup adalah sebuah cerita dedikasi, keprihatinan, kerja keras, kehidupan 24 jam untuk sepakbola. Cassano mendekonstruksi semua itu. Ia mencintai sepakbola dan merupakan salah satu pemain paling berbakat yang muncul dari Italia untuk generasinya, tetapi pada saat bersamaan ia melihat sepakbola sekadar bagian dari kehidupannya. Di atas segalanya ia mencintai kehidupan itu sendiri. Tentu saja kehidupan dalam rumusan Cassano. Hidup bagi Cassano adalah untuk mengejar kesenangan pribadi: perempuan, makan enak -- maksudnya makanan sampah alias junk food, dan foya-foya. Dalam usianya yang baru 26 tahun ia mengaku telah bercinta dengan 600 hingga 700 perempuan. Ketika umur 12 tahun ia sudah membayangkan bercinta dengan guru sekolah dasarnya. Ia mengaku berulang kali diam-diam memasukkan perempuan ke kamar hotelnya malam sebelum bertanding. "Bercinta sepuasnya dan makan: malam yang sempurna," akunya. Seorang komentator sepakbola Italia menyebut Cassano, kalau mau, berpotensi untuk menjadi pemain terbaik dunia. Fisiknya hebat, skill dan tekhniknya di atas rata-rata, di samping mempunyai kecepatan gerak yang mengagumkan. Tak heran kalau Fabio Capello kepincut dan membawanya ke Real Madrid walau harus merogoh 18 juta poundsterling. Cassano baru berusia 22 tahun saat itu. Tapi Cassano adalah pengecualian. Ia berlatih kalau hati sedang lega. Tak segan membantah pelatih, bahkan menentang mereka. "Kalau hari terlalu terik, saya akan bermain di tempat yang teduh," ungkapnya seperti mengisyaratkan tindak tanduk semaunya. Kalau bertanding dan manajer tidak puas dengan penampilannya, ia tak segan membalas, "Kalau tak puas mengapa, bukan kau saja yang turun ke lapangan?" Ia juga tak segan berpura-pura cedera karena malas bermain. Ia mengaku tak khawatir kalau dalam hidupnya sebagai pemain sepakbola tak pernah memenangi satu piala pun. "Dunia ini terobsesi dengan kesuksesan. Seolah kita harus berkorban untuk meraih itu. Pada akhirnya kita ini hanyalah angka statistik. Piala datang dan pergi setiap tahun," katanya. "Kecuali kita Maradona atau Pele, tak akan ada yang mengingat kita," katanya acuh. "Yang penting saya hidup lebih dari cukup dan senang." Ia mengatakan tak hendak mengubah pendekatannya ini. "Paling saya hanya akan memberikan 50 persen dari potensi yang saaya miliki," terserah klub mau mengontrak saya atau tidak, begitu kira-kira kelanjutannya. Sungguh mengherankan bahwa sikap blak-blakan yang diungkapkan oleh Cassano tidak menyurutkan manajer sepakbola untuk mengontraknya. Ia saat ini bermain untuk Sampdoria. Mungkin para manajer sepakbola setelah melihat potensi Cassano berangan-angan merekalah yang akan mampu mengubah perilaku Cassano. Kalau itu bisa mereka lakukan dan Cassano memenuhi potensi kehebatannya, betapa permata ada di tangan mereka. Atau jangan-jangan 50 persen kemampuan Cassano sudah cukup untuk para manajer itu. Atau yang 50 persen itu sebenarnya sudah cukup untuk sepakbola. Bukankah Cassano juga dipanggil untuk tim nasional Italia walau bukan sebagai pemain inti? Bagi dunia sepakbola kasus Cassano mungkin sebuah kehilangan, kesia-siaan bakat, untuk memperkaya khasanah persepakbolaan. Tetapi untuk potret besar kehidupan, terlepas dari setuju atau tidak dengan pemaknaan hidup yang dipegang Cassano, sungguh menyegarkan. Sepakbola bukan segalanya tetapi sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain.

Mengenai Posisi Kapten

Tony Adams (ist)Apa sebenarnya peran kapten dalam sebuah kesebelasan sepakbola? Menerjemahkan instruksi pelatih? Menjadi nyawa tim ketika tersudut maupun ketika sedang unggul? Lalu kriteria apa yang harus disandang seorang pemain untuk menjadi kapten? Haruskah ia bintang tim? Haruskah ia memegang posisi tertentu di lapangan, semisal pemain tengah? Haruskah ia pemain paling senior, paling berpengalaman? Ia yang bisa berteriak? Atau ia yang pendiam tetapi menyerahkan setiap perasan keringatnya untuk tim? Susah sekali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Kapten yang bagus dan sukses ternyata bermacam-macam jenisnya. Tidak ada satu rumusan khusus yang bisa dijadikan model mutlak. Semuanya tergantung nasib dan preferensi pribadi manajer untuk menentukannya. Satu-satunya kesepakatan hanyalah bahwa kapten harus mempunyai otoritas dan tanggungjawab. Singkatnya, jiwa kepemimpinan. Tetapi memang peran kapten dalam sepakbola moderen telah banyak berubah. Kalau membaca sejarah sepakbola Arsenal diakhir tahun 1920-an dan 1930-an, ketika klub London Utara menjadi klub dominan dan paling kaya di Inggris Raya sehingga disebut Bank of England, kapten klub berperan sama besarnya dengan manajer. Adalah kapten Charles Buchan yang meminta manajer Herbert Chapman mengubah peran bermain bertahan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan offside yang baru. Chapman menerima usul itu dan keduanya memang dikenal sering berdiskusi mengenai taktik dan strategi permainan. Bahkan belum lama lalu di era moderen, Alex Ferguson dikenal melakukan hal serupa dengan kapten Manchester United, Bryan Robson. Robson yang saat masih aktif dijuluki "Captain Marvel" juga sangat berperan, setidaknya mempunyai suara, dalam menentukan taktik ketika menjadi kapten Inggris. Kini peran dan masukan kapten jelas tidak lagi dominan dalam gambaran keseluruhan permainan. Manajer sepakbola sekarang mempunyai sekian banyak pasukan: tim pelatih, psikolog, nutrisionis, hingga dokter tim. Mereka memberi masukan kepada manajer dari kondisi kesehatan fisik hingga kejiwaan, kesiapan permainan untuk menjalankan model permainan tertentu, hingga hal yang sekecil-kecilnya. Belum lagi adanya sistem permainan yang mengizinkan pergantian pemain hingga tiga, membuat tidak satu pun pemain terjamin posisinya termasuk sang kapten. Kapten masih bisa memberi masukan mengenai atmosfer ruang ganti, tetapi hanya sebatas itu. Jangan salah. Bukan berarti di era moderen posisi kapten kemudian menjadi tidak penting. Di lapangan ia tetaplah berperan. Dalam banyak hal dialah orang yang paling dipercaya oleh manajer untuk merekat tim agar bergerak sebagai satu unit, untuk tetap mengingatkan akan instruksi yang diberikan manajer. Siapa kapten yang dipilih, seperti tersebut di atas, betul-betul tergantung kepada selera manajer. Ia, manajer, adalah yang paling paham dengan tim maupun karakteristik tim yang ia bentuk, dan karenanya yang paling tahu siapa yang paling tepat. Misalnya ketika manajer Arsenal dua minggu lalu menjadikan Cesc Fabregas kapten menggantikan William Gallas banyak dahi berkerut. Benar Fabregas adalah denyut jantung permainan Arsenal, tetapi tidakkah di umur 21 tahun ia terlalu muda? Tentu saja umur tidak bisa dijadikan ukuran. Bukankah legenda Arsenal, Tony Adams, menjadi kapten bahkan empat bulan lebih muda dari Fabregas? Ia memenangi empat kompetisi liga dan tiga Piala FA. Carlos Bilardo memilih Diego Maradona sebagai kapten tim Argentina yang memenangi Piala Dunia 1986 karena ia bintang tim. Maradona tidak berteriak-teriak menyemangati tim ataupun akan rajin bertahan serajin ia menyusun serangan. Akan tetapi dari otak dan kakinya adalah segala serangan berawal. Pelatih asal Italia sangat menyukai pemain bertahan sebagai kapten tim. Mungkin karena secara insting sepakbola Italia menyukai pertahanan yang kuat sebagai fondasi permainan. Carlos Alberto Parreira menjadikan Dunga sebagai kapten Brasil saat memenangi Piala Dunia 1994 walau ia dianggap pemain lapis kedua dari sisi skill. Tetapi Dunga adalah pemain yang menurut Parreira paling bisa mengikat tim dalam satu permainan yang menyeimbangkan pertahanan dan penyerangan. Alex Ferguson mengaku menyukai Bryan Robson dan Roy Keane sebagai kapten. Tipe keduanya sama, box to box player. Keduanya akan lari sepanjang hari dari kotak penalti sendiri ke kotak penalti lawan, sama gigihnya saat menyerang dan bertahan serta tidak segan berteriak kepada koleganya untuk menjaga konsentrasi dan memeras keringat. Sulit memang merumuskan model ideal kapten. Namun yakinlah, manajer sepakbola tidak akan sembarangan mengapa mereka memilih pemain tertentu dan bukan yang lainnya.

Wasit: Berkuasa dan Dicerca

wasit & Terry (AFP/Paul Ellis)Di Inggris sedang ada kampanye besar-besaran untuk menghormati wasit. Sebuah ide mulia dan memang seharusnya, tetapi juga sebuah absurditas mengingat evolusi atau bahkan revolusi yang telah terjadi dalam dunia sepakbola. Sepakbola, seperti juga permainan lain, awalnya adalah sebuah permainan untuk sekadar bersenang-senang, melupakan rutinitas kehidupan sehari-hari. Sebuah permainan untuk membantu membangun karakter pribadi dan kolektif. Selesai bertanding orang boleh tidak puas, puas, menggerutu, bergembira, bersedih, tapi kemudian melupakan semuanya dan kembali ke kehidupan sesungguhnya. Kembali ke rutinitas sehari-hari. Tetapi kini sepakbola bagi mereka yang terlibat dalam dunia sepakbola ini adalah kehidupan itu sendiri. Sepakbola telah menjadi ekspresi pribadi, sosial, politik, dan ekonomi. Nilai kehidupan tergantung padanya. Dalam situasi ini sangatlah absurd bila hakim, administrator, arbitrator, penentu hitam putihnya di lapangan, masih juga dipegang tunggal oleh wasit -- kecuali kalau wasit adalah entitas maha sempurna tentunya. Setiap pekan kita bisa melihat sendiri bagaimana wasit sering melakukan kesalahan. Murni bukan kesengajaan. Entah karena lalai, tidak melihat dengan jelas, pemain yang dengan cerdik berpura-pura, dan berbagai sebab lain. Para komentator sepakbola ataupun penonton televisi diuntungkan oleh replay yang kadang sampai berulang-ulang dengan sudut beragam, tetapi wasit tidak punya kemewahan itu dan harus mengambil keputusan seketika. Betapa susahnya. Bayangkan perumpamaan ekstrim ini. Dalam pertandingan penentuan degradasi Premier League seorang wasit memutuskan tendangan penalti di detik terakhir dan menjadi penentu kemenangan-kekalahan sebuah tim. Kalau keputusan itu benar tidak akan menjadi masalah. Atau menjadi masalah tetapi dengan dimensi yang lain. Tetapi bagaimana kalau salah? Satu keputusan salah itu jutaan poundsterling nilainya. Juga bisa merupakan garis tipis dipecat tidaknya seorang manajer, hengkangnya para pemain bagus dari klub bersangkutan, menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi mereka yang terlibat menjalankan kehidupan keseharian klub. Belum lagi berbicara dampak psikologis kolektif bagi pendukung yang kalah secara tidak adil. Para sejarawan sepakbola tentu tidak akan melupakan babak kualifikasi Piala Dunia 1970 antara Honduras dan El Savador tahun 1969. Ketegangan antara dua negara bertetangga di Amerika Tengah yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola itu akhirnya menjadi perang terbuka, setelah kedua negara ini bertanding sepakbola. Bayangkan peran dan perasaan wasit di pertandingan itu. Dengan taruhan yang begitu besar dan kemampuan wasit yang sangat terbatas tetapi keputusannya sangat amat menentukan, tak pelak wasit mudah sekali menjadi sasaran tembak ketidakpuasan. Terutama sekali pemain, manajer, dan penonton, serta tak ketinggalan komentator sepakbola, tidak pernah berberat tangan untuk menghujat mereka. Itulah sebabnya kampanye agar wasit dan keputusannya dihormati 100 persen adalah sebuah absurditas konyol. Para manajer mengatakan mereka akan menghormati wasit kalau wasit bisa konsisten dan sempurna. Ini kekonyolan dalam bentuk lain. Ini seperti menuntut manusia untuk selalu sempurna setiap saat. Padahal apakah pemain juga bersikap sempurna kalau mereka sering berpura-pura menjatuhkan diri, menarik kaos lawan, dan memprotes keputusan yang sudah sempurna? Apakah manajer juga bersikap sempurna ketika menerima keputusan wasit yang salah tetapi menguntungkan timnya, tetapi begitu dirugikan segala macam perbendaharaan makian mereka keluarkan? Masih beruntung menjadi wasit di Eropa atau di Inggris ini, coba kalau di Indonesia. Bukan sekadar hujatan yang diterima, bogem mentah dan ketupat bengkulu pun sering dilontarkan. Mengerikan.

Ketika Uang Berbicara

Fabregas-Ferdinand (Reuters)Jadi apa yang harus dilakukan ketika muncul kesadaran bahwa kekurangan adalah satu- satunya "kelebihan" yang dipunyai ketika menghadapi lawan? Tidak banyak tentu saja kecuali kesadaran akan kekurangan itu sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus dilakukan ketika benturan benar terjadi? Pertanyaan inilah yang selalu dihadapi klub-klub "kecil" Inggris setiap harus bertanding dengan klub-klub elit. Klub dengan sumber daya terbatas melawan klub bersumber daya yang lebih longgar. Klub dengan sumber finansial terbatas dengan mereka yang lebih kaya. Sebenarnya perbedaan antara mereka yang mempunyai kelebihan dengan yang berkekurangan hanyalah pada persoalan keragaman pilihan. Opsi. Tetapi mempunyai keragaman pilihan adalah sebuah kemewahan dan segalanya dalam sepakbola. Katakanlah dalam sebuah pertandingan, ketika situasi tidak sesuai dengan harapan, manajer yang bagus akan dengan jeli mempunyai ide untuk mengubah taktik dan strategi, serta mempunyai sumber daya untuk melakukannya. Atau dengan sumber daya yang cukup -- pemain yang bagus -- manajer yang bagus akan dari semula bisa merancang sekian macam skenario taktik dan strategi untuk memenangkan pertandingan. Lalu apakah itu berarti klub kecil akan selalu kalah dari klub elit? Lebih sering kalah, tetapi tidak selalu. Klub kecil, karena terbatasnya pilihan, terbantu untuk kemudian berkonsentrasi pada satu taktik saja dan kemudian mematangkannya secara maksimal. Ini bisa menjadi sebuah keuntungan. Misalnya dengan merancang serangan semata-mata dari bola mati, baik itu tendangan bebas, tendangan sudut, atau lemparan bola. Misal lain, bertahan total dan sekali-kali melakukan serangan balik. Seperti seharusnya inisiatif serangan tentu saja berada di pihak klub yang lebih besar. Toh klub besarlah yang menyandang beban ekspektasi kemenangan, bukan klub kecil. Klub besarlah yang harus mengubah taktik dan strategi mereka untuk meraih kemenangan. Taktik atau strategi semacam ini sangat kentara terutama dalam pertandingan non kompetisi yang menggunakan sistem gugur. Piala FA dan Piala Liga di Inggris dikenal sebagai kuburan klub-klub besar, tumbang ditangan klub yang lebih inferior karena faktor ini. Namun perangai dalam kompetisi tentu saja berbeda. Kompetisi memerlukan konsistensi. Dan konsistensi sangat sulit dijaga apabila sumber daya tidak mencukupi. Kalau diperhatikan, klasemen Premier League dari tahun ke tahun adalah cerminan hampir sempurna dari ukuran kekayaan klub-klub yang terlibat. Bukanlah kebetulan kalau di Inggris dikenal istilah elit empat besar, istilah yang sebenarnya baru muncul 10 tahun belakangan ini. Manchester United, Chelsea, Liverpool, Arsenal adalah klub dengan dukungan keuangan yang cukup dan karenanya mampu menyewa manajer dan pemain yang bagus. Merekalah yang paling mempunyai keragaman pilihan untuk menjaga konsistensi penampilan. Gambaran besarnya, di papan tengah adalah klub-klub kelas menengah dengan kekayaan menegah pula dan pemain maupun manajer kelas menengah pula. Di papan bawah cerita serupa juga terjadi. Setiap tahun bahkan sebelum kompetisi dimulai para pengamat maupun penggemar bola dengan gampang bisa meramalkan siapa yang kira-kira akan juara, mengalami degradasi, ataupun duduk di papan tengah dengan relatif akurat. Sebenarnya bukan hanya di Inggris. Kalau diperhatikan di kompetisi lain di daratan Eropa pola semacam juga terjadi. Bahkan di Liga Champions ketika sistem pertandingannya diubah menjadi semi kompetisi dari sistem gugur, maka mereka yang masuk ke semifinal ataupun final selalu saja didominasi oleh klub-klub elit Eropa. Sekali lagi konsistensi karena tunjangan sumber finansial yang cukup menjadi kunci. Jarang sekali misalnya klub seperti FC Porto mampu menerobos membuat kejutan untuk menjadi juara. Atau seperti di masa lalu ketika klub Inggris seperti Notingham Forest, dua kali berturut-turut, dan Aston Villa, bisa menjadi juara Piala Champions. Bahkan klub semacam FC Bruges dari Belgia bisa masuk final Piala Champions. Apa boleh buat, dalam dunia nyata uang memang berbicara.

'Appy Arry' Sang Tukang Kelontong

Harry Redknapp (Reuters)Poplar adalah bagian dari jaringan pelabuhan kuno London di sepanjang Sungai Thames di London. Persisnya terletak di wilayah London Timur, berhadapan dengan daerah Greenwich di seberang sungai Thames yang hingga sekarang terkenal dengan garis waktu meridian-nya atau GMT. Hingga tahun 1960-an daerah pelabuhan ini masih berfungsi dengan ramai. Dihubungkan langsung ke London dengan sebuah jalan bernama Commercial Road, nama jalan yang jelas merujuk pada kesibukan kegiatan ekonomi. Segala macam kegiatan ekonomi terjadi. Dari buruh pelabuhan, toko kelontong, hingga bisnis besar berputar di sini. Daerah yang keras tetapi mempunyai kebersamaan yang tinggi. Pelabuhan di sepanjang Sungai Thames sekarang sudah tidak ada lagi. Daerah Poplar dan sepanjang Commersial Road sekarang dipenuhi imigran asal Anak Benua Asia: Pakistan, India, dan Bangladesh. Haryy Redknapp, manajer baru Tottenham Hotspur, lahir dan dibesarkan di daerah ini. Adakah pengaruh masa kecil hingga remajanya berbekas mendalam di hati Redknapp? Entahlah, ia tidak pernah mengatakan dan tidak pernah mencoba menjelaskan. Tetapi ada beberapa kualitas khas Redknapp yang sepertinya cerminan dari mereka yang dibesarkan di daerah seperti Poplar ini: lugas cenderung kasar, mempunyai rasa kebersamaan yang tinggi, cerdik memanfaatkan situasi apapun untuk mendulang keuntungan sesaat. Di kalangan bola Inggris Redknapp dikenal sebagai tukang kelontong, wheeler dealer, mengumpulkan barang bagus yang sudah menjadi rongsokan, lalu digosok ulang agar tampil bagus; atau menyulap barang bermasalah menjadi layak hukum. Tentu itu tafsiran kasar. Bisa diterjemahkan sebagai cibiran ataupun ungkapan kekaguman. Yang dimaksud sebenarnya adalah kemampuan khas Redknapp untuk membeli pemain tua yang sudah menurun penampilannya, dengan harga potongan, lalu ia poles sedemikian rupa sehingga bisa tampil walau tidak seratus persen namun maksimum. Atau ia ambil pemain yang ditolak berbagai klub karena yang bersangkutan membawa bagasi persoalan yang terlalu banyak. Lalu ia rangkul agar yang bersangkutan terkontrol dan bisa tampil bagus. Tentu saja persyaratannya juga sama: harganya harus murah. Ia juga lihai memanfaatkan situasi. Banyak pemain bagus di klub besar Eropa tetapi tidak mempunyai kesempatan bermain. Ia dengan cerdik menawar mereka bukan untuk dibeli tetapi sekadar diberi kesempatan bermain secara reguler. Ia sekadar membayar gaji pemain yang bersangkutan. Yang hebat adalah ia kadang bisa bernegosiasi untuk misalnya hanya membayar separuh dari gaji pemain yang bersangkutan, sementara separuhnya tetap dibayar klub dari klub pemain itu berasal. Catatan manajerial Redknapp sejak di Bournemouth, West Ham, Southampton, dan Portsmouth adalah seperti itu. Mendaur ulang pemain adalah kelebihannya. Kalaulah Arsene Wenger dan Alex Ferguson dikenal mampu menampilkan pemain muda ke gemerlap panggung persepakbolaan, sebenarnya tidak adil kalau Redknapp tidak disebutkan. Ia mempunyai perhatian yang tak kalah hebat untuk persoalan ini. Lihatlah beberapa yang sekarang berkiprah di tim nasional Inggris: Rio Ferdinand, Joe Cole, Frank Lampard, Michael Carrick, Jermain Defoe. Semuanya muncul di bawah polesan akademi West Ham saat ia memegang klub itu. Belum lagi sejumlah nama lain yang sekarang bermain di klub-klub Inggris lain. Cara Redknapp memposisikan diri di kalangan pemain juga merupakan kekuatan lainnya. Komunikasi adalah kekuatan Redknapp. Ia bisa menyampaikan pesan dengan lucu, kadang kasar, tetapi jujur. Contoh paling mutakhir ketika Tottenham ketinggalan 1-0 dari Liverpool dan ditekan habis-habisan oleh kuartet pemain tengah Liverpool. Menyadari kalah kualitas di tengah, Redknapp malah mengurangi pemain tengah dan menambah pemain bertahan serta memasukkan striker tambahan yang tinggi besar. Pesannya sederhana, jangan bangun serangan dari bawah tetapi tendang bola jauh-jauh ke depan melambung melewati pemain tengah Liverpool. Roman Pavlyuchenko, striker Tottenham asal Rusia, bingung dengan peran yang harus dilakukan karena ketambahan satu striker lain. Redknapp dengan tenang mengatakan: "Just f**** run about." Maksudnya, sikat-sikat saja, bikin kacau lini belakang Liverpool. Entah apa yang terjadi tetapi yang jelas Pavlyuchenko mencetak gol kemenangan Tottenham. Di hadapan anak cucunya, Redknapp tidak pernah mengeluarkan kata makian. Setidaknya itu pengakuannya. Tetapi di kalangan teman dan pemain, kata makian bisa menjadi subyek, obyek maupun predikat dalam kalimatnya. Bahasa Ingrisnya penuh dengan kata-kata slang Inggris anak pelabuhan London Timur. "Appy Arry," begitu julukannya. Ini juga khas pengucapan bahasa Inggris London Timur atau dikenal dengan aksen Cockney, yang selalu menyembunyikan konsonan H dalam pengucapan. Harry yang selalu gembira. Sikap yang sebenarnya khas milik orang Cockney. Selalu gembira, selalu bisa memanfaatkan situasi sempit dan mengubahnya menjadi kesempatan, selalu optimis, pekerja keras walau tampil santai. Memang dalam karir manajerialnya selama 25 tahun baru sekali ia memenangi piala, yaitu Piala FA 2008 bersama Portsmouth. Bukan berarti ia tidak hebat, karena ia tidak pernah memegang klub besar. Kini ia memegang Tottenham Hotspur, salah satu klub raksasa yang terlalu lama tidur panjang. Bisakah "Appy Arry" sukses? Semuanya berawal menggembirakan. Mengalahkan Liverpool dan Bolton serta seri melawan musuh abadi Arsenal, entah selanjutnya.

Resesi dan Nasib Liga Inggris

Emmanuel Adebayor (Reuters)Krisis keuangan dunia jelas mempengaruhi roda kehidupan klub-klub Liga Primer Inggris. Mereka tak bisa lagi menghamburkan uang lebih banyak dari liga manapun di dunia. Tetapi bukan berarti mereka kemudian akan ambruk. Dalam ramalan pakar ekonomi di negeri ini, klub-klub Premiership akan bisa mengarungi krisis selama setidaknya dua tahun ke depan. Ramalan ini didasarkan pada beberapa faktor. Pertama tentu saja kontrak tayang televisi senilai 2,7 miliar poundsterling atau sekitar Rp 44 triliun hingga musim kompetisi 2009/2010. Berbeda dengan industri lain yang harus mengarungi masa susah untuk sekadar mempertahankan pemasukan, industri bola Inggris sudah terjamin pemasukannya sampai dua tahun ke depan. Dan lagi, di tengah protes akan harga tiket yang tinggi, gaji pemain yang tak masuk akal, dan kejenuhan eksploitasi komersial sepakbola, tetap saja olahraga ini terus berkembang di seluruh dunia dan penggemar sangat patuh mengikutinya. Artinya uang tetap juga terus masuk dari sisi ini. Dengan kondisi ini bukan berarti penyelenggara liga utama ataupun klub-klub liga utama Inggris lalu tenang tentram. Mereka tahu bahwa krisis keuangan hanyalah satu langkah jauhnya dari resesi. Dan kalau resesi sampai terjadi, beberapa kalangan di Inggris mengatakan sudah terjadi, maka tak ada tempat bersembunyi lagi. Logika sederhananya, resesi ekonomi membuat pabrik dan perusahaan -- apapun bidangnya -- akan kekurangan modal untuk memutar industrinya. Akibatnya, volume produk harus dikurangi. Dan karena volume produk dikurangi maka jumlah pegawai pun ikut dikurangi. Ketika PHK dalam jumlah besar terjadi akibatnya daya beli masyarakat secara umum menurun. Pengencangan ikat pinggang dilakukan dengan membeli hanya kebutuhan pokok Lalu produk-produk non-pokok seperti segala hal yang menyangkut sepakbola dihilangkan dari menu konsumsi. Celakanya kalau resesi terjadi, pemulihannya berkaca pada sejarah, tidak akan memakan waktu yang pendek. Masa prihatin akan lebih lama lagi dan akan banyak klub sepakbola kelimpungan. Yang lebih celaka lagi khusus untuk liga utama Inggris, mereka ini sudah menghipotekkan pemasukan dari hak tayang televisi untuk meminjam uang guna membeli pemain maupun membiayai pembangunan ataupun pembesaran stadion. Sebetulnya kalau krisis keuangan tidak berlanjut pada resesi, maka hal ini tidak akan menjadi masalah, karena pemasukan dari penjualan merchandise, tiket stadion, sponsor kaos dan stadion dalam jangka panjang akan menutupi. Klub-klub kecil daya tahannya lebih pendek karena jumlah pengikutnya juga lebih sedikit, dan kompetisi yang mereka ikuti juga lebih sedikit dan kalah bergengsi. Pemasukan dari sisi hak tayang televisi juga lebih sedikit. Namun klub-klub besar juga berdebar-debar. Katakanlah mereka yang ikut berkompetisi di tingkat Eropa. Pemasukan mereka lebih besar dengan tambahan hak tayang Liga Champions dan Piala UEFA. Tetapi biasanya utang mereka juga lebih besar. Empat besar liga Inggris terus mengikuti perkembangan dengan khawatir. Klub seperti Chelsea bisa dikatakan beruntung karena pemiliknya Roman Abramovich memberi pinjaman lunak kepada Chelsea dari kantongnya sendiri. Nanti kalau Chelsea sudah mendatangkan untung maka akan dengan sendirinya mencicil utang itu kepada Abramovich. Problem kata orang hanya akan muncul kalau Abramovich mengalami kesulitan politik yang berimbas pada orang mempertanyakan keabsahan asal uangnya. Manchester United dulunya adalah klub tanpa utang. Tetapi keluarga Glazer ketika membeli MU mereka meminjam uang ke Bank dan lalu membebankan utang pembelian itu keklub yang mereka beli. Cerdik, walau tentu ada yang mengatakan licik. Beruntung bahwa penggemar klub ini berjibun sehingga kekuatan keuangan mereka tergolong kuat, hingga saat ini. Kalau resesi menghantam mereka akan benar-benar mengalami kesulitan. Pemilik Liverpool melakukan trik serupa dengan Glazer. Hanya saja dalam jumlah yang lebih kecil. Arsenal terbebani utang pembangunan stadion. Kalau mereka tetap juga tak segera mendulang prestasi juara, pasar penggemar mereka akan sulit membesar dan itu akan menjadi problem tersendiri di masa resesi.

Enigma Monsieur Wenger

REUTERSMenonton Arsenal di bawah asuhan Arsene Wenger adalah keindahan tersendiri. Layaknya mesin dengan pelumas yang serba tepat, mulus berputar, dengan presisi gerakan yang memukau. Bola di kaki para pemain bergerak terus menerus seperti meluncur, melayang kata pengagumnya, sedikit di atas rumput. Dan sebelum sempat mata berkedip satu gol memukau telah tercipta. Arsene Wenger adalah maestro keanggunan. Ia paham benar akan esensi sepakbola indah. Dialah keindahan itu. Namun keindahan hanyalah satu sisi saja dari permainan sepakbola. Bagaimana dengan yang namanya kegigihan? Bagaimana dengan tekad membara? Bagaimana dengan yang namanya otot dan tulang, ketika keadaan memaksa untuk beradu kaki dan liat tubuh? Bagaimanapun sepakbola adalah olahraga fisik yang tidak menabukan "bentrok fisik" untuk menguji besar hati lawan. Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh pengamat bola akan Arsene Wenger. Sebagai seorang yang cerdas, menguasai lima bahasa dan meraih gelar di bidang ekonomi, Wenger seperti mengabaikan faktor lain dalam sepakbola, seolah keindahan hanyalah satu-satunya. Atau, tidakkah interpretasi keindahan juga bisa mengikutkan faktor ketangguhan -"kekerasan"- fisik dan tekad yang membara. Tak heran Arsenal selalu kesulitan menghadapi tim yang secara teknis inferior tetapi secara fisik intimidatif. Apalagi kalau berhadapan dengan tim yang secara tekhnis sepadan dan secara fisik lebih kuat. Sang professor, demikian julukannya, selalu berkilah kalau lawan bermain seperti timnya, maka tidak akan ada yang bisa mengalahkan Arsenal. Ia menganggap gaya bermain Arsenal adalah satu-satunya yang mencerminkan bagaimana sepakbola seharusnya dimainkan. Ya, tetapi bukankah cara bermain Arsenal bukanlah satu-satunya cara bermain? Wenger juga diakui sebagai salah satu pelatih bola yang mampu melihat permata terpendam dan memolesnya menjadi permata yang hebat. Tak terhitung jumlah pemain muda dari antah berantah yang ia ambil, poles, yang kemudian bersinar menjadi bintang. Sekali dua dia membeli pemain yang sudah cukup punya nama. Namun jarang ia lakukan. Ada satu teori mengapa Wenger enggan membeli bintang tetapi lebih senang memoles yang terpendam untuk menjadi bintang. Karunia sentuhan Midasnya dalam memoles pemain muda tidak diikuti dengan karunia untuk mengelola pemain bintang. Pemain bintang, apa boleh buat, biasanya juga membawa sekian macam ego di punggung mereka. Menjadikan mereka hanya bagian dari sebuah tim bukanlah pekerjaan mudah. Biarpun sumbangan mereka mungkin akan besar untuk tim, tetapi biasanya pemain bintang mempunyai terlalu banyak urusan yang harus diselesaikan diluar sepakbola itu sendiri. Mungkin karena itulah Wenger tidak menyukainya. Bahkan pemain polesannya, begitu bintang mereka bersinar terlalu terang, ia cenderung untuk kemudian menjualnya. Ia tidak cukup sabar atau cukup punya waktu untuk memahami ego pemain itu. Kalau pemain memang memilih ego ketimbang tampil memukau dalam kerangka permainan indah racikannya, maka lebih baik pemain itu dijual. Ia enggan mengakomodasi ego. Toh akan selalu ada pemain temuannya yang bisa menggantikan. Kehebatan lain Wenger tentu saja kekeraskepalannya. Ia kadang seperti buku yang tertutup. Ketika ia teguh bersikukuh apa yang ia yakini adalah benar maka tak ada kritik yang akan ia dengar. Walau tahun terus berhitung dengan Arsenal tanpa gelar.

Matinya Manajer Klub Sepakbola

Keegan (Reuters/Nigel Roddis)Pelan tapi pasti ada perubahan besar dalam dunia persepakbolaan Inggris. Sebentar lagi mungkin "manajer klub sepakbola" di Inggris akan kehilangan peran dan digantikan oleh mereka yang bertitel direktur teknis atau direktur sepakbola atau semacamnya. Manajer klub sepakbola di Inggris mungkin akan sebentar lagi sekadar gelar pelatih. Gejala itu semakin jelas dengan mundurnya dua manajer sepakbola anggota Premier League dalam satu minggu ini. Pertama Alan Curbishley dari West Ham United dan kedua Kevin Keegan dari Newcastle United. Dua-duanya mundur dengan alasan yang serupa: sebagai manajer mereka tidak lagi berperan dalam keluar masuknya pemain. Mereka tidak lagi bisa menentukan pemain mana yang ingin mereka beli maupun pemain mana yang ingin mereka jual. Untuk Curbishley kartu matinya adalah penjualan Anton Ferdinand dan George McCartney ke Sunderland. Sementara untuk Keegan penjualan James Milner ke Aston Villa serta selentingan akan dijualnya Michael owen. Padahal bagi para manajer ini, hak prerogatif ini mutlak perlu mereka miliki karena pada dasarnya manajerlah yang mempunyai bayangan perihak bentuk permainan yang diinginkan. Dengan memiliki pemain tepat seperti yang mereka inginkan, maka wujud permainan yang mereka mau otomatis bisa dilaksanakan. Setidaknya itu logikanya. Setidaknya itu yang terjadi di Inggris selama ini. Mundurnya Curbishley dan Keegan karena alasan seperti ini sebetulnya bukanlah yang pertama. Masih ingatkah dengan Jose Mourinho di Chelsea musim kompetisi lalu? Mirip sekali. Pada awalnya Mourinho diberi kebebasan untuk membeli pemain atau membuang pemain. Tetapi seiring waktu kebebasan Mourinho semakin terpangkas. Berdatanganlah pemain yang dibeli tanpa persetujuan Mourinho. Yang paling mendapat sorotan tentu saja datangnya Andriy Shevchenko dari AC Milan. Sehebat apapun Sevchenko tetapi Mourinho merasa ia bukan pemain yang tepat untuk timnya, dan malah mungkin hanya mengganggu keseimbangan tim saja. Tetapi apa boleh buat, Sevchenko telah dibeli. Konon bukan sekadar oleh direktur tekhnis Frank Arnessen ataupun direktur klub Peter Kenyon, tetapi langsung oleh sang pemilik Chelsea Roman Abramovich. Merasa wewenangnya terganggu Mourinho pun cabut. Apa yang terjadi di West Ham maupun Newcastle, atau Curbishley dan Keegan dalam hal ini, seperti mengikuti apa yang terjadi di Chelsea. Hampir pasti akan diikuti oleh klub-klub lain di Inggris. Penyebabnya sederhana saja, semakin banyak klub Inggris ini dimiliki oleh orang asing yang melihat secara lebih praktis: melihat klub sebagai sebuah perusahaan (pribadi). Akibatnya mereka menatanya juga layaknya perusahaan. Ada pemilik, dewan direktur dengan sekian tugasnya masing-masing, lalu ada manajer, dan tentu saja buruh (pemain). Posisi manajer klub yang sebelumnya begitu berkuasa, pelan tapi pasti ditiadakan. Toh sehebat apapun mereka, manajer sepakbola tidaklah lebih dari sekadar buruh. Satu sekrup dalam sebuah putaran perusahaan. Posisi mereka terdegradasi tak lebih dari sekadar pelatih sepakbola, bukan lagi manajer klub. Manchester City yang baru saja dibeli oleh perusahaan investasi Abu Dhabi sudah menunjukkan gejala seperti itu. Walau pernyataan yang keluar dari klub itu menyebut Mark Hughes sebagai manajer akan diberi kebebasan penuh mengelola sisi persepakbolaannya, tetapi siapa yang membeli Robinho? Sewaktu pembelian terjadi Hughes mengaku sama sekali tidak tahu karena ia sedang bermain golf. Pemilik Man City sekarang berkoar akan berusaha membeli Cristiano Ronaldo, Fernando Torres, dan Cesc Fabregas. Bukan Mark Hughes yang mengatakan itu. Klub besar Inggris dengan manajer klub berperan layaknya sebagai manajer klub tinggal ada dua: Manchester United dan Arsenal. Selebihnya mulai berguguran. Kalau klub-klub kecil Inggris juga akhirnya nanti dibeli oleh orang kaya (asing), kemungkinan tren semakin tak berperannya manajer klub akan semakin besar. Apalagi kalau MU dan Arsenal juga mengikuti tren itu, selamat tinggallah gelar manajer klub sepakbola di Inggris.