Di Inggris sedang ada kampanye besar-besaran untuk menghormati wasit. Sebuah ide mulia dan memang seharusnya, tetapi juga sebuah absurditas mengingat evolusi atau bahkan revolusi yang telah terjadi dalam dunia sepakbola.
Sepakbola, seperti juga permainan lain, awalnya adalah sebuah permainan untuk sekadar bersenang-senang, melupakan rutinitas kehidupan sehari-hari. Sebuah permainan untuk membantu membangun karakter pribadi dan kolektif. Selesai bertanding orang boleh tidak puas, puas, menggerutu, bergembira, bersedih, tapi kemudian melupakan semuanya dan kembali ke kehidupan sesungguhnya. Kembali ke rutinitas sehari-hari. Tetapi kini sepakbola bagi mereka yang terlibat dalam dunia sepakbola ini adalah kehidupan itu sendiri. Sepakbola telah menjadi ekspresi pribadi, sosial, politik, dan ekonomi. Nilai kehidupan tergantung padanya.
Dalam situasi ini sangatlah absurd bila hakim, administrator, arbitrator, penentu hitam putihnya di lapangan, masih juga dipegang tunggal oleh wasit -- kecuali kalau wasit adalah entitas maha sempurna tentunya. Setiap pekan kita bisa melihat sendiri bagaimana wasit sering melakukan kesalahan. Murni bukan kesengajaan. Entah karena lalai, tidak melihat dengan jelas, pemain yang dengan cerdik berpura-pura, dan berbagai sebab lain. Para komentator sepakbola ataupun penonton televisi diuntungkan oleh replay yang kadang sampai berulang-ulang dengan sudut beragam, tetapi wasit tidak punya kemewahan itu dan harus mengambil keputusan seketika. Betapa susahnya. Bayangkan perumpamaan ekstrim ini. Dalam pertandingan penentuan degradasi Premier League seorang wasit memutuskan tendangan penalti di detik terakhir dan menjadi penentu kemenangan-kekalahan sebuah tim. Kalau keputusan itu benar tidak akan menjadi masalah. Atau menjadi masalah tetapi dengan dimensi yang lain. Tetapi bagaimana kalau salah?
Satu keputusan salah itu jutaan poundsterling nilainya. Juga bisa merupakan garis tipis dipecat tidaknya seorang manajer, hengkangnya para pemain bagus dari klub bersangkutan, menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi mereka yang terlibat menjalankan kehidupan keseharian klub. Belum lagi berbicara dampak psikologis kolektif bagi pendukung yang kalah secara tidak adil. Para sejarawan sepakbola tentu tidak akan melupakan babak kualifikasi Piala Dunia 1970 antara Honduras dan El Savador tahun 1969. Ketegangan antara dua negara bertetangga di Amerika Tengah yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola itu akhirnya menjadi perang terbuka, setelah kedua negara ini bertanding sepakbola. Bayangkan peran dan perasaan wasit di pertandingan itu.
Dengan taruhan yang begitu besar dan kemampuan wasit yang sangat terbatas tetapi keputusannya sangat amat menentukan, tak pelak wasit mudah sekali menjadi sasaran tembak ketidakpuasan. Terutama sekali pemain, manajer, dan penonton, serta tak ketinggalan komentator sepakbola, tidak pernah berberat tangan untuk menghujat mereka. Itulah sebabnya kampanye agar wasit dan keputusannya dihormati 100 persen adalah sebuah absurditas konyol. Para manajer mengatakan mereka akan menghormati wasit kalau wasit bisa konsisten dan sempurna. Ini kekonyolan dalam bentuk lain. Ini seperti menuntut manusia untuk selalu sempurna setiap saat. Padahal apakah pemain juga bersikap sempurna kalau mereka sering berpura-pura menjatuhkan diri, menarik kaos lawan, dan memprotes keputusan yang sudah sempurna? Apakah manajer juga bersikap sempurna ketika menerima keputusan wasit yang salah tetapi menguntungkan timnya, tetapi begitu dirugikan segala macam perbendaharaan makian mereka keluarkan?
Masih beruntung menjadi wasit di Eropa atau di Inggris ini, coba kalau di Indonesia. Bukan sekadar hujatan yang diterima, bogem mentah dan ketupat bengkulu pun sering dilontarkan. Mengerikan.
Sabtu, April 25, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....