Sabtu, April 25, 2009

Kenapa Inggris Dominan di Liga Champions

 Mengapa lima tahun terakhir tim-tim Inggris mendominasi babak akhir Liga Champions? Tidak mesti juara tentunya, tetapi mendominasi, katakanlah, babak perempat final dan sesudahnya. Salah satu teori yang diajukan tentu saja uang yang berlimpah. Kombinasi penghasilan dari hak siar televisi, penonton yang berlimpah, serta pemasaran merchandise global membuat Premier League berlimpah uang. Dengan uang itu Liga Inggris bisa menyewa pemain bagus dan manajer hebat. Dan karenanya kemudian mereka bisa mendominasi Liga Champions. Mungkin ada benarnya. Penghasilan Premiership sejak tahun 2004 memang jauh meninggalkan liga lain di Eropa. Pukul rata pendapatan bersih kompetisi ini berkisar 700 juta dolar. Bandingkan secara berurutan: Seri A yang hanya 490 juta dolar, Bundesliga 389 juta dolar, serta La Liga 275 juta dolar. Kalau dilihat lewat periode kemakmuran liga kompetisi terkenal di Eropa, secara kasar tentunya, maka ada tiga periode sejak menjelang tahun 1990-an. Italia medominasi babak akhir Piala Eropa selama sepuluh tahun dari 1988 hingga 1998, saat uang masih berlimpah ruah di Seri A, saat industrialis Italia seperti berlomba pamer kekayaan. La Liga mengambil alih dominasi selama lima tahun sesudahnya ketika dana juga seperti tak berbatas. Dan sekarang giliran Liga Inggris karena seperti terlihat data di atas Inggris memang jauh lebih makmur dibanding liga lain. Ketika Seri A mendominasi Eropa, tercatat sembilan kali Italia memecahkan rekor pembelian pemain termahal di dunia. Belum terhitung sekian puluh pembelian pemain asing mahal lainnya. Liga Spanyol dua kali memecahkan rekor pembelian pemain saat lima tahun berkuasa. Klub-klub Inggris tidak memecahkan rekor-rekor pembelian termahal, tetapi jumlah pemain mahal yang dibeli oleh klub-klub Inggris lebih banyak dibanding liga-liga lain. Berjubelnya pemain asing bagus ini mempunyai dua efek yang menguntungkan, setidaknya dalam logika. Satu, meningkatkan mutu kompetisi lokal dan yang kedua karena mutu di tingkat lokal meningkat, maka bersaing dengan klub dari negara lain mereka juga menjadi lebih unggul. Walau pengritiknya mengatakan terlalu banyaknya pemain asing menghambat munculnya pemain lokal yang bagus, tetapi ini persoalan yang memerlukan pembahasan yang berbeda. Masuknya pelatih asing juga meningkatkan mutu permainan, dalam pengertian mereka membawa ide-ide dan pendekatan baru dalam bermain sepakbola. Kedatangan pelatih asing ini juga melecut pelatih lokal untuk belajar dan melakukan (terkadang meniru) inovasi bukan hanya sekadar dalam permainan tetapi juga cara berlatih. Satu hal yang biasanya tidak ingin diubah oleh pelatih, dan pemain asing biasanya juga dituntut untuk menyesuaikan diri, adalah fisikalitas gaya permainan Inggris. Tampaknya hampir semua pelatih maupun pemain asing di Inggris sepakat bahwa ini adalah sebuah kelebihan.Yang perlu disuntik adalah sisi imajinasi dan teknik. Dan hampir semuanya sepakat bahwa yang mereka ingin temukan adalah keseimbangan antara imajinasi dan teknik yang dibawa dari luar, digabung dengan fisikalitas permainan Inggris. Bukan kebetulan kalau keempat wakil Inggris, baik Manchester United, Liverpool, Chelsea, dan Arsenal mengarahkan permainannya ke sana. Dan setidaknya selama lima tahun terbukti paduan imajinasi, teknik dan fisikalitas permainan Inggris terbukti unggul. Arsenal mungkin agak lebih sedikit kurang untuk persoalan fisiknya. Beberapa pengamat menyebut karena kini hampir tidak ada (lagi) pemain (lokal) Inggris yang menjadi pemain inti. Keberadaan pemain lokal, lebih utama lagi yang dididik dan dibesarkan oleh klub yang bersangkutan, merupakan ingredient (bahan racikan) yang tidak kalah pentingnya di samping uang dan pemain asing. Kalau diperhatikan, klub yang konsisten masuk babak akhir Liga Champions, terlepas dari negara mana klub itu berasal, selalu mempunyai keseimbangan yang bagus antara pemain asing dan lokal. Pemain lokal, apalagi kalau di masa kecilnya adalah pendukung klub yang bersangkutan, biasanya mempunyai kelebihan semangat dibanding pemain asing. Perhitungan pemain lokal tidak sekadar bertumpu pada persoalan uang ataupun personal glory, tetapi juga memperjuangkan gengsi klub. Mungkin mereka tidak sehebat pemain impor, tetapi kesadaran menjaga gengsi klub menjadi motivator yang sulit disaingi oleh pemain impor. Itulah sebabnya pemain lokal bagaimanapun tetap menjadi nyawa dari sebuah permainan. Kalau pemain lokal itu ternyata juga berkemampuan setingkat pemain impor, maka akan lebih hebat lagi. Faktor lain tentu saja keberuntungan baik di dalam maupun di luar lapangan. Kita akan kemudian berbicara soal undian, apakah pemain inti ada yang cedera disaat diperlukan, atau ketika bermain -- seberapapun usaha dilakukan-- bola seperti enggan masuk ke gawang, tetapi lawan entah bagaimana caranya seperti gampang mencetak gol. Namun ini seperti suratan nasib. Jadi tak perlu dibahas. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....