Menonton Arsenal di bawah asuhan Arsene Wenger adalah keindahan tersendiri. Layaknya mesin dengan pelumas yang serba tepat, mulus berputar, dengan presisi gerakan yang memukau. Bola di kaki para pemain bergerak terus menerus seperti meluncur, melayang kata pengagumnya, sedikit di atas rumput. Dan sebelum sempat mata berkedip satu gol memukau telah tercipta. Arsene Wenger adalah maestro keanggunan. Ia paham benar akan esensi sepakbola indah. Dialah keindahan itu. Namun keindahan hanyalah satu sisi saja dari permainan sepakbola. Bagaimana dengan yang namanya kegigihan? Bagaimana dengan tekad membara? Bagaimana dengan yang namanya otot dan tulang, ketika keadaan memaksa untuk beradu kaki dan liat tubuh? Bagaimanapun sepakbola adalah olahraga fisik yang tidak menabukan "bentrok fisik" untuk menguji besar hati lawan.
Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh pengamat bola akan Arsene Wenger. Sebagai seorang yang cerdas, menguasai lima bahasa dan meraih gelar di bidang ekonomi, Wenger seperti mengabaikan faktor lain dalam sepakbola, seolah keindahan hanyalah satu-satunya. Atau, tidakkah interpretasi keindahan juga bisa mengikutkan faktor ketangguhan -"kekerasan"- fisik dan tekad yang membara. Tak heran Arsenal selalu kesulitan menghadapi tim yang secara teknis inferior tetapi secara fisik intimidatif. Apalagi kalau berhadapan dengan tim yang secara tekhnis sepadan dan secara fisik lebih kuat. Sang professor, demikian julukannya, selalu berkilah kalau lawan bermain seperti timnya, maka tidak akan ada yang bisa mengalahkan Arsenal. Ia menganggap gaya bermain Arsenal adalah satu-satunya yang mencerminkan bagaimana sepakbola seharusnya dimainkan. Ya, tetapi bukankah cara bermain Arsenal bukanlah satu-satunya cara bermain?
Wenger juga diakui sebagai salah satu pelatih bola yang mampu melihat permata terpendam dan memolesnya menjadi permata yang hebat. Tak terhitung jumlah pemain muda dari antah berantah yang ia ambil, poles, yang kemudian bersinar menjadi bintang. Sekali dua dia membeli pemain yang sudah cukup punya nama. Namun jarang ia lakukan. Ada satu teori mengapa Wenger enggan membeli bintang tetapi lebih senang memoles yang terpendam untuk menjadi bintang. Karunia sentuhan Midasnya dalam memoles pemain muda tidak diikuti dengan karunia untuk mengelola pemain bintang.
Pemain bintang, apa boleh buat, biasanya juga membawa sekian macam ego di punggung mereka. Menjadikan mereka hanya bagian dari sebuah tim bukanlah pekerjaan mudah. Biarpun sumbangan mereka mungkin akan besar untuk tim, tetapi biasanya pemain bintang mempunyai terlalu banyak urusan yang harus diselesaikan diluar sepakbola itu sendiri. Mungkin karena itulah Wenger tidak menyukainya. Bahkan pemain polesannya, begitu bintang mereka bersinar terlalu terang, ia cenderung untuk kemudian menjualnya. Ia tidak cukup sabar atau cukup punya waktu untuk memahami ego pemain itu. Kalau pemain memang memilih ego ketimbang tampil memukau dalam kerangka permainan indah racikannya, maka lebih baik pemain itu dijual. Ia enggan mengakomodasi ego. Toh akan selalu ada pemain temuannya yang bisa menggantikan.
Kehebatan lain Wenger tentu saja kekeraskepalannya. Ia kadang seperti buku yang tertutup. Ketika ia teguh bersikukuh apa yang ia yakini adalah benar maka tak ada kritik yang akan ia dengar. Walau tahun terus berhitung dengan Arsenal tanpa gelar.
Sabtu, April 25, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....