Dalam kompetisi sepakbola di Inggris ada periode tiga bulan yang sangat menentukan: Desember, Januari, Februari. Di tiga bulan ini pertandingan begitu padat, otomatis jumlah angka yang diperebutkan begitu besar, dan karenanya biasanya akan terbaca klub mana yang akan menjadi juara ataupun terdegradasi.
Di tiga bulan itu pertarungan tidak lagi semata-mata ada di lapangan tetapi di kepala dan hati. Pergolakan yang ada di kepala dan hati menjadi lebih penting karena apa yang terjadi di lapangan seringkali sekadar cerminan pergolakan tadi.
Coba perhatikan betapa di tiga bulan itu frekuensi bertukar kata antarmanajer sangat tinggi. Saling kecam, saling kritik, saling ejek, saling merendahkan, dan (sebenarnya) saling menyemai ragu di benak lawan. Terutama di antara sesama saingan. Manajer melakukan itu bukan sekadar untuk menanam keraguan di benak manajer lain tetapi juga di benak pemain lawan.
Cara mereka melakukan itu tentu saja dengan kejenialan masing-masing manajer. Alex Ferguson adalah salah satu manajer jagoan untuk urusan seperti ini.
Salah satu yang selalu diingat orang adalah kompetisi tahun 1995/1996 ketika Manchester United bersaing dengan Newcastle. Tertinggal 12 angka di bulan Januari, Ferguson dengan santai meragukan kesungguhan tim-tim di Inggris bila tidak melawan MU. Beberapa tim yang disebut saat itu adalah mereka yang akan melawan Newcastle di lanjutan kompetisi. Kevin Keegan yang saat itu menjadi manajer Newcastle, dalam sebuah wawancara siaran langsung di telivisi tak mampu mengendalikan emosi menghadapi tuduhan Ferguson itu. Dengan sorot mata merah, suara serak marah, ia menyumpah akan sangat bergembira kalau bisa mengalahkan MU. Yang terjadi kemudian, entah kebetulan atau tidak, lawan-lawan Newcastle selalu bermain kesetanan, sementara Keegan seperti kehabisan akal menata anak asuhnya. MU kemudian menjadi juara.
Tetapi jangan salah, ini bukan kelakuan Ferguson seorang. Jose Mourinho juga tak kalah lihainya. Ketika ia pertama kali datang ke Chelsea tahun 2004 dengan percaya diri ia menobatkan diri sebagai The Special One. Dan kapan ia mengulang-ulang kembali pernyataannya ini, bulan Desember. "Aku tak butuh menonjolkan prestasiku, tim yang pegang The Special One selalu hebat. Kecuali Ferguson, tidak ada yang menyamaiku di negeri ini, pernah memenangi Liga Champions."
Arogan tetapi menumbuhkan efek percaya diri luar biasa bagi Chelsea dan membuat musuh harus mengakui.
Arsene Wenger? Tak kalah lihainya. Ketika musim kompetisi 2004/2005 ia melihat Chelsea-lah lawan satu-satunya saat itu untuk berebut juara liga. MU dan Liverpool sibuk membangun kembali kekuatan mereka sehingga belum di puncak.
Menjelang Desember tiba-tiba muncul tuduhan dari Wenger bahwa Mourinho terobsesi apapun yang serba Arsenal. Satu persoalan yang sebenarnya dipicu sejak musim kompetisi sebelumnya dengan kepindahan Ashley Cole yang tidak mulus. Tetapi Wenger menunggu hingga kompetisi masuk jadwal padat Desember, Januari, Februari.
Saling tuding pun akhirnya terjadi. Mourinho balas menuduh Wenger keranjingan dengan segala sesuatu yang berbau Chelsea. Mereka bahkan saling ancam akan membawa masing-masing pihak ke pengadilan. Wenger dan Mourinho bahkan katanya sudah saling menumpuk bukti akan obsesi masing-masing itu.
Apa yang terjadi? Nol besar. Karena memang yang terjadi adalah sekadar perang urat syaraf untuk menanamkan keraguan di benak, memupus rasa percaya diri lawan. Siapa yang tak kuat biasanya akan ambruk.
Kalau untuk musim kompetisi sekarang cobalah perhatikan apa yang terjadi antara Alex Ferguson dan Rafael Benitez sejak Desember. Menarik. Juga memberi gambaran tim mana yang sebenarnya sedang bersaing kuat untuk berebut juara.
Sabtu, April 25, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....