Sabtu, April 25, 2009

Saga Tentang Kaka

 Eduardo Galleano, sastrawan Uruguay yang menulis 'El futbol a Sol y Sombra', pernah melancarkan kritik tajam pada dua pihak sekaligus: rezim pemerintah di Amerika Latin, baik yang berideologi "kanan" atau "kiri" yang mengeksploitasi sepakbola untuk kepentingan politik. Penulis trilogi novel 'Memoria del Fuego' ini menyerang intelektual kiri yang merusak sepakbola semata untuk mengkampanyekan keyakinan ideologis mereka. Tapi ia jauh lebih keras lagi menyerang kapitalisme global yang menjadikan sepakbola begitu komersil.

Kapitalisme memang telah membuat sepakbola menjadi berkembang dengan cara yang tak pernah bisa dilakukan pada dekade-dekade sebelumnya. Efek domino dari industri sepakbola telah dirasakan oleh banyak orang yang tak bersentuhan langsung dengan lapangan hijau. Tak terhitung, misalnya, kampung-kampung di pedalaman Afrika yang mendapat sokongan dana yang digelontorkan warganya yang sukses menjadi pesepakbola di Eropa. Kritik terhadap penetrasi kekuatan uang memang tak pernah berhenti dan akan selalu ada. Tapi, sepanjang sejarah industri sepakbola, barangkali baru gerak Manchester City memburu Kaka yang berhasil membuat semua orang yang terkait langsung atau tidak dengan sepakbola seperti kebakaran jenggot, syok dan pelan tapi pasti menyampaikan kritik yang nyaris sama: polah pemilik City sukar diterima akal sehat. Tawaran 100 juta poundsterling kepada Milan dan rumor 500 ribu pounds per pekan untuk Kaka memang tak pernah dibayangkan oleh siapapun, tidak juga oleh seorang Roman Abramovich. Inilah tanda kapitalisme benar-benar sudah tak terbendung? Belum tentu juga. Kapitalisme mungkin sistem yang rakus dalam urusan mengeruk laba. Tapi serakus-rakusnya kapitalisme, ia terikat dengan azas dan prinsip-prinsipnya sendiri: mempertimbangkan logika pasar, menghitung keseimbangan pengeluaran dan pemasukan, memetakan tata keuangan global yang sedang remuk oleh krisis, serta mengukur nalar-ekonomi dalam industri sepakbola. Tawaran City jelas-jelas sukar diterima dilihat nyaris dalam semua aspek sekalipun. Secara bisnis, sukar menghitung bagaimana para syeikh yang jadi juragan City akan menutup pengeluaran. Abramovich pun pasti tak bisa menjawab dengan pasti kapan duit yang ia keluarkan untuk Chelsea mencapai break event point, terlebih setelah dunia dihajar krisis finansial yang akut. Di tengah himpitan krisis finansial yang membikin angka kemiskinan dan pengangguran merangkak naik di nyaris semua penjuru bumi (plus isu Palestina yang mengharu biru), tawaran gaji untuk Kaka seperti pelecehan atas akal sehat dan tanpa mengukur kepekaan pada isu-isu kemanusiaan. Saga transfer ini tidak lagi menjadi isu teknis sepakbola atau kalkulasi dagang, tapi sudah menjadi sebuah isu moral, baik itu moral dalam spirit sepakbola maupun moral dalam pengertiannya dirinya sendiri. Pertanyaan moral ini bisa diajukan pada ketiga pihak yang terlibat: Kaka, Milan juga pemilik City. Kepada Kaka, publik sungguh ingin tahu bagaimana ia mengejawantahkan kalimat "I Belong to Jesus" yang terpacak di kaos yang ia gunakan saat selebrasi penyerahan trofi Liga Champions yang digondol Milan dua musim lalu. Kaka, yang mengaku buku favoritnya adalah alkitab dan nyanyian kesayangannya adalah koor gereja, serta lama menjadi ikon pemain yang religius dan sederhana, diuji oleh godaan uang City. Mungkin seperti berlebihan menghubungkan isu transfer ini dengan soal moralitas, apalagi kepercayaan personal. Tapi, melihat besaran uang dan konteks dunia yang sedang sekarat, sudut pandang ini layak untuk diajukan. Tak urung, harian The Telegraph sampai menurukan laporan berjudul 'Kaka: a virtuoso with faith in Milan and Jesus'. Kolom Bryan Robson di BBC juga menyinggung hal serupa. Robbo bahkan tegas-tegas menulis: 'No-one, NO-ONE, deserves to earn £100m.' Milan sendiri layak dimintai pertanggungjawab jika menjual Kaka. Ini bukan hanya menjadi hak suporter Milan, tapi juga menjadi hak siapa saja yang menyukai sepakbola sebagai sebuah olahraga sekaligus seni bermain yang --menyitir Graham Taylor-- mutlak membutuhkan passion dan spirit yang tak terkalkulasi oleh gelontoran uang. Para pelaku dalam industri sepakbola juga pantas untuk bertanya pada Milan karena jika saga transfer ini sampai berhasil, tata-niaga dalam pasar pemain sepakbola bisa berantakan, jauh lebih remuk-redam ketimbang yang dilakukan Abramovich. Sistem pembinaan pemain muda juga terancam dengan langkah-langkah super-instan macam yang dilakukan City pada Kaka ini. Tapi, di atas semua itu, syeikh-syeikh dari Abu Dhabi yang jadi juragan City menjadi pihak yang pantas untuk "ditembak" melebihi Kaka atau Milan sendiri. Sebab, jika mereka tidak "segila" ini, saga transfer ini tak mungkin bisa muncul. Kekayaan ADUG, konsorsium para syeikh Abu Dhabi yang kini menjadi juragan City, memang tak alang kepalang. Tapi, untuk apa sebenarnya? Mungkin mereka mencari reputasi atau menggunakan isu sepakbola untuk meningkatkan posisi tawar pada area yang lain -- katakanlah ini hanya satu tahap dari sekian tahapan berikutnya yang sedang diincar. Atau, jangan-jangan, mereka memperlakukan saga transfer ini --juga take-over yang mereka lakukan atas kepemilikan City-- tak lebih sebagai kesenangan orang-orang yang sudah tak tahu lagi dengan cara apa mereka menghabiskan uang. Mungkin para syeikh itu justru sedang menikmati prinsip dasar dari sepakbola dengan cara yang ekstrim dan tak pernah kita duga: kesenangan, klangenan, main-main. Ya, permainan. Dalam ujudnya yang absurd, tentu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....