Survival of the fittest, kata ilmuwan Inggris Charles Darwin ketika menjelaskan teori evolusinya kepada dunia. Hanya mereka yang terkuat yang akan berjaya untuk terus bisa bertahan hidup. Bukan hanya kuat mengalahkan tantangan alam tetapi juga sesama. Dunia sepakbola begitu sering meminjam ungkapan Darwin ini untuk menggambarkan persaingan dan pertandingan di lingkup kegiatan mereka. Pada prinsipnya semakin kuat satu tim (klub) akan semakin terbuka kesempatan untuk berjaya. Akan tetapi, satu-dua kali anomali terjadi. Mereka yang dianggap lemah tiba-tiba saja muncul berjaya mengalahkan mereka yang lebih kuat. Entah asal kekuatan itu, yang lemah bisa muncul berjaya.
Pelatih tinju terkenal yang di antaranya menghadirkan Mike Tyson pada dunia, mendiang Cus D'Amato, bercerita tentang karakter. Ia berbicara tentang tinju tentu saja, tetapi bolehlah penjelasannya kita pinjam untuk sepakbola. Ketika semua persyaratan teknis dan fisik telah terpenuhi, toh ini memang persyaratan dasar dari olahragawan, begitu kata D'Amato, maka karakter (kepribadian) menjadi begitu penting. Karakter menurutnya adalah sumber energi dan inspirasi. Karakter yang kuat akan membimbing orang untuk bisa keluar dari kesulitan ketika yang lain menyerah. Karakter yang kuat akan membuat orang waspada dan bukannya lalai ketika ia sedang unggul. Karakter yang kuat akan memunculkan kecerdikan, ketangguhan, dan kejernihan pada saat diperlukan.
Contoh klasik tentu saja ketika Muhammad Ali mengkanvaskan George Foreman tahun 1974 di Kinshasa, Zaire. Foreman baru berusia 26 tahun, di puncak kehebatan fisiknya, lebih besar, lebih kuat, 40 tanding tanpa kalah dengan 37 KO. Ali sudah berusia 32 tahun dan walau lebih cepat tetapi sudah menurun. Ali bukan hanya menjadi underdog tetapi banyak yang mengkhawatirkan keselamatannya. Ali kalah segalanya. Di tengah begitu banyak hujan pukulan yang dilayangkan ke tubuhnya -- yang kalau petinju lain pasti sudah ambruk seperti pohon pisang ditebang--, di tengah kepayahan fisik yang maha hebat, Ali tetap bisa bertahan. Bahkan ia masih bisa cerdik berhitung, Foreman terlalu bernafsu mengumbar pukulan. Ali bertahan, bertahan, dan terus bertahan, sambil mengejek seolah pukulan Foreman tak bertenaga. Dan ketika Foreman terlalu kelelahan di ronde kedelapan, lalu kehilangan akal, lalu tidak percaya diri lagi dengan kemampuannya, kita tahu apa yang terjadi.
Apakah Ali lebih kuat? Tidak. Lebih cerdik? Sangat mungkin. Tahan pukulan? Bisa jadi. Tetapi adalah karakter sangat kuat yang dimiliki Ali yang membuat segala kelebihan dan kekurangannya berkonspirasi untuk kemenangannya.
Dalam sepakbola persoalan karakter itu menjadi semakin penting nilainya ketika pertandingan menggunakan sistem gugur, bukan kompetisi. Kompetisi (lebih) memerlukan konsistensi. Sistem gugur, sama dengan pertarungan tinju, hanya memberikan satu kesempatan. Sekali kalah, lewat. Satu tim sepakbola bisa saja merupakan kumpulan pemain terbaik dunia, dengan manajer yang hebat, tetapi tanpa karakter yang kuat mereka akan mudah ambruk ketika menghadapi pertandingan dengan sistem gugur.
Justru karena semua serba hebat, kalau tidak berkarakter kuat, akan semakin mudah ambruk karena besarnya beban yang harus mereka tanggung. Bukankah kita sering melihat tim yang kita anggap hebat tiba-tiba saja seperti kehilangan taji ketika bermain? Demam panggung? Tampil buruk? Serba salah?
Karakter yang kuat akan menghapus semua itu. Ketika ketinggalan gol tidak gugup lalu kehilangan akal. Ketika unggul akan terus waspada dan tidak lalai hingga pertandingan usai. Ketika ditekan habis-habisan bisa mencari jalan keluar dan tidak putus asa. Ketika ritme sedang baik dan melakukan penyerangan akan berbahaya.
Liga Champions selalu menarik setelah memasuki sistem gugur. Di sana sini selalu muncul kejutan. Karena yang kita saksikan bukan sekadar keterampilan teknis dan fisik, tetapi juga persoalan karakter. Yang difavoritkan sering larut begitu saja, yang lemah tiba-tiba menguat. Kalau Anda menjagokan tim-tim kuat berharaplah tim Anda berkarakter baja. Ingat, persoalannya bukan semata keterampilan teknis dan fisik tim.
Kalau Anda menjagokan tim-tim yang dianggap lemah, percayalah tim kuat tidak kebal dari kesalahan. Dan sekali berbuat kesalahan, lebih sulit bagi tim-tim kuat untuk meluruskan kembali kesalahan itu. Apalagi kalau dibenak mereka terus terbayang "gugur … gugur … gugur…"
Selalu ada harapan dalam sistem gugur. Selalu ada harapan.
Sabtu, April 25, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....