Sabtu, April 25, 2009

Kalau Cinta Sudah Melekat...

 Mengapa kita menjadi pendukung klub sepakbola tertentu dan bukan yang lain? Mestikah kita mendukung hanya satu tim untuk menikmati pertandingan sepakbola? Dari mana dorongan untuk mendukung satu klub tertentu itu muncul? Dulu mungkin ada konteks lokalitas, agama, etnisitas, ataupun strata sosial. Tetapi dengan popularitas global sepakbola, muncullah berbagai absurditas yang sulit dipahami. Misal yang paling gampang tentu saja, bagaimana mungkin orang Indonesia menjadi pendukung setia berbagai klub yang bertebaran di Eropa? Kolektivitas psikologis seperti apa yang membuat mereka bersedia bersusah payah mengaku dan merasa menjadi bagian dari klub itu? Gembira ketika klub yang mereka dukung, yang jauh di antah berantah, menang; bersedih, marah, dan jengkel ketika kalah. Berbagai argumen menunjuk akan pengaruh kecanggihan tekhnologi dan kapitalisme dengan sistem pasar bebasnya dan pemasaran yang agresif, membuat globalisme menyebar dengan tingkat yang ekstrim. Satelit, televisi, internet dan telpon seluler membuat dunia tak lebih besar dari bilangan luas kamar. Dalam batas tertentu dunia menjadi dusun besar, apa yang terjadi di satu pojok dunia secara instan diketahui dan dirasakan oleh pojok dunia lain. Dalam konteks sepakbola, pada titik inilah batasan lokalitas terelatifkan. Agama dan etnisitas juga menjadi tidak relevan dalam pengertian permainan sepakbola bukanlah ekspresi keagamaan atau etnisitas. Sentimen agama dan etnis dalam konteks globalisme dan kapitalisme digunakan semata alat untuk memperbesar pasar. Sering klub-klub besar Eropa menarik pemain bukan semata karena kemampuannya bersepakbola tetapi potensi pasar yang tercipta karena pemain tersebut berlatar agama atau etnis tertentu. Sama tidak relevannya adalah persoalan strata sosial. Dulu banyak klub lahir karena mewakili strata sosial tertentu. Orang kaya punya klub sendiri, yang miskin juga punya klub sendiri. Kini yang penting adalah klub mempunyai suporter, kaya atau miskin. Dan karena teknologi telah mendemokratiskan akses informasi dan hiburan, klub bisa menggoda siapa saja agar mau mendukung mereka. Argumen-argumen semacam ini mungkin benar tetapi tetap tak menjawab pertanyaan mengapa kita (harus) menjadi suporter klub tertentu. Argumen-argumen itu hanya menunjukkan bahwa mungkin sekali telah terjadi pergeseran paradigma tentang mengapa kita menjadi suporter klub tertentu. Artikel ini tak berpretensi untuk bisa menjawabnya. Hanya saja yang ada dalam benak adalah mencoba memahaminya layaknya kita jatuh cinta dengan lawan jenis. Minus risiko penolakan tentu saja. Kita bisa jatuh cinta dengan lawan jenis berawal karena mungkin ia cantik, ganteng, pribadinya, latar sosialnya, situasi, dijodohkan, bahkan juga bisa karena kasihan, atau sekian macam alasan lainlah. Ada sekian macam proses dalam otak dan hati yang sulit kita pahami untuk kemudian kita menjatuhkan pilihan. Proses yang mungkin paralel dengan ketika kita menjatuhkan pilihan untuk menjadi suporter satu klub. Mungkin karena pola permainan, sejarah, ada pemain favorit kita di sana, sering juara, atau sekian macam alasan lain. Dua-duanya mensyaratkan harus ada kontak terlebih dahulu. Dalam konteks sepakbola, globalisme, tekhnologi dan eksploitasi pasar oleh kapitalisme menyediakan itu. Ada cerita kecil mengapa kesimpulan ini (benar atau salah) muncul. Sekitar 30 tahun lalu, tinggal disebuah koloni Inggris ribuan kilometer jauhnya dari Inggris, saya menonton sebuah pertandingan perebutan Piala FA lewat televisi. Layaknya bocah yang suka sepakbola, anak kecil yang tidak disosialisasikan untuk mendukung klub tertentu, saya sekadar menonton saja. Anehnya setelah pertandingan usai, tiba-tiba saja saya merasa ada kesedihan yang mendalam. Rupanya saya telah jatuh cinta dengan klub yang kalah tersebut. Mengapa jatuh cinta dengan klub yang kalah bukan yang menang, saya tidak pernah mengerti sebabnya. Sampai sekarangpun saya masih tidak mengerti sebabnya. Namanya juga jatuh cinta. Tapi, "Kalau cinta sudah melekat, tai kucing juga serasa coklat," dendang Gombloh puluhan tahun silam. Dalam naik dan turun prestasi klub yang saya dukung itu, kecintaan itu masih saja lekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....