
"Kecuali Inggris mengubah pendekatan mereka dalam bermain bola, tak akan ada perbaikan." Ini kata-kata pedas Carlos Alberto, kapten saat Brasil memenangi Piala Dunia 1970. Artinya, mencoba menyimpulkan logika Carlos Alberto, ganti pelatih dari luar pun tidak akan ada artinya, kecuali pelatih yang bersangkutan tahu persis apa yang dimaksud dengan perubahanpendekatan itu.
Pernyataan ini mengingatkan saya pada beberapa artikel yang menimbulkan kesan yang dalam di hati saya.
Pertama adalah catatan Gus Hiddink saat membawa Korea Selatan menembus semifinal Piala Dunia 2002. Ia terkejut ketika untuk pertama kalinya makan bersama anggota tim di pusat pelatihan. Pemain yang dianggap senior mengelompok sendiri, terpisah dari mereka yang dianggap yunior, dan terpisah pula dari tim pelatih. Pemain yunior juga tidak segera makan walau datang terlebih dahulu tetapi menunggu pemain senior memulai. Yang lebih parah lagi, komunikasi hanya terjadi saat pemain senior berbicara terlebih dahulu.
Rupanya hirarki semacam ini adalah cerminan kultur Korea. Penghormatan terhadap yang lebih tua dalam wujud yang paling ekstrim. Ini bukan persoalan benar salah sebuah budaya, tetapi Hiddink melihatnya sebagai ganjalan pertama terbesar mengapa persepakbolaan walau berpotensi tidak pernah bisa bersinar di tingkat dunia.
Maka langkah Hiddink yang pertama adalah meruntuhkan batasan senior-yunior dalam wujudnya yang paling kaku itu. Tempat makan harus baur. Tidak ada tunggu menunggu. Demokrasi berbicara dibuka. Pelan tapi pasti permainan di lapangan pun membaik. Tim menjadi cair-menjadi satu unit. Senior dan yunior bahu membahu menggalang permainan. Barulah kemudian Hiddink membenahi secara tekhnis dan strategi.
Di sinilah kelihatan mengapa Gus Hiddink dikatakan sebagai pelatih yang bagus. Saya membayangkan benturan budaya yang terjadi pastilah tidak mudah dan mulus. Teringat pula kepada saya satu artikel mengenai revolusi kecil yang dilakukan Carlos Alberto Parreira untuk Brasil di Piala Dunia 1994 di Amerika. Ia tidak harus membangun dari awal mentalitas baru seperti Hiddink dengan Koreanya, tetapi ia memperkenalkan sesuatu yang sangat tidak umum pada tim Brasil.
Parreira memperkenalkan pemain tengah bertahan untuk tim Brasil, persis di depan empat pemain bertahan. Ia pada awalnya mendapat makian dari fans. Pemain sendiri pada awalnya tidak terlalu yakin, kecuali Dunga tentunya yang memegang posisi itu sekaligus sebagai kapten tim. Seperti diketahui, semua pemain Brasil bahkan para defender sekalipun, tidak terdidik untuk bertahan. Naluri mereka adalah menyerang. Sepakbola adalah sebuah kegembiraan. Kegembiraan adalah ketika mencetak gol, kegembiraan yang paling puncak adalah mencetak gol indah dengan gocekan yang memukau, jadi mengapa bertahan? Itu motto mereka. Tetapi Parreira memang sebuah anomali untuk Brasil. Ia bersikukuh pendekatan sepakbola indah ala Brasil sudah ketinggalan zaman. Brasil harus mengerti bahwa dunia sepakbola sudah berubah. Yang paling penting bagi Parreira adalah membawa Piala Dunia pulang ke Brasil setelah 24 tahun melompong. Ia terbukti benar. Brasil menjadi juara. Dan toh sepakbola indah maupun naluri menyerang Brasil tidak benar-benar hilang. Berkurang mungkin.
Artikel ketiga yang saya ingat ini muncul jauh sebelum ada pembicaraan perihal penunjukan Fabio Capello sebagai pelatih Inggris. Pernah Gianluca Vialli di sebuah koran di Inggris diwawancarai secara panjang lebar tentang perbedaan mentalitas permainan sepakbola Italia dan Inggris.
Ia bintang tim nasional Italia yang sukses bermain untuk Sampdoria dan Juventus, sekaligus sukses pula di Chelsea baik sebagai pemain maupun pelatih. Ada dua ilustrasi yang selalu saya ingat dari Vialli dalam wawancara itu yang semakin meyakinkan bahwa latar belakang budaya ikut menentukan cara bermain sepakbola sebuah negara.Sekali lagi, ini bukan persoalan benar salah, tetapi cara memahami mentalitas yang berbeda.
Pertama, mengenai benarkah pemain Italia suka menjatuhkan diri (dive) untuk mendapat keuntungan baik itu tendangan bebas atau penalti. Tanpa sungkan Vialli membenarkan. Tetapi penjelasan berikutnya yang menarik. “Anda menganggapnya licik, kami menganggapnya cerdik.” Maksud Vialli di Italia sebagai pemain, Anda dituntut untuk menggunakan kecerdikan agar bisa memberikan keuntungan kepada tim. Berhasil atau tidaknya tergantung pada wasit. Bukankah wasit yang bertugas untuk mengawasi pertandingan? Salah wasit kalau sampai ia bisa dikecoh oleh kepuraan-puraan itu. Jangan salahkan pemain. Penggemar bola Italia juga menganggapnya biasa saja sebagai bagian dari permainan. Jadi kalau ada pemain yang mampu mengecoh wasit, mereka tidak akan dicerca, malah dipuja karena kecerdikannya.
Kedua, persoalan protes pada keputusan wasit. Di Inggris, kata Vialli, protes terhadap wasit dilakukan lebih sering karena merasa diperlakukan tidak adil. Di Italia protes dilakukan dengan penuh perhitungan. Kalau perlu dilakukan sesering mungkin. Sering keputusan yang benar pun harus diprotes. Bukan untuk mengubah keputusan, tapi untuk memberi sugesti bahwa
wasit terlalu memihak lawan. Kalau sampai wasit terpengaruh oleh sugesti itu dipastikan suatu saat ada keputusan penting harus diambil, tim Anda akan diuntungkan.
Dari tiga artikel itu menarik untuk menjadi cerminan perubahan seperti apayang kira-kira akan dibawa oleh Fabio Capello pada tim Inggris. Benturan budaya seperti apa yang akan terjadi? Bisakah ia seperti Hiddink dengan Korea Selatan-nya? Bisakah ia seperti Parreira dengan Brasil-nya?
Inilah pertanyaan-pertanyaan seharga empat juta poundsterling per tahun yang diajukan FA pada Capello.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan Komentarnya Disini Aja ....